PWMU.CO– Membangun Islam kaffah menjadi topik kegiatan Capacity Building Civitas Akademika Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah (STAIM) Tulungagung, Sabtu (23/07/2022).
Hadir sebagai pembicara Dr Aji Damanuri, dosen IAIN Ponorogo dan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Tulungagung. Acara diikuti 30 dosen dan tenaga kependidikan STAIM Tulungagung.
”Sudahkah kita menjadi muslim yang kaffah?” kata Aji Damanhuri. Menurut dia, membangun Islam kaffah harus dimulai dari pemahaman yang kaffah pula terhadap ajaran agama.
Bapak dua anak ini menyampaikan ayat al-Quran yang menjelaskan menjadi muslim yang kaffah. Seperti surat Rum ayat 30.
”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Kemudian dia menyampaikan surat Ali Imran ayat 19. ”Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisabNya.”
Empat Jalan
Lantas dia menerangkan, paling tidak ada empat hal pokok yang harus dipahami oleh civitas akademika STAIM untuk membangun Islam kaffah.
”Pertama, pengertian Islam dalam kaitannya dengan syariat dan wahyu. Islam sebagai agama dirincikan dalam prinsip-prinsip iman, Islam, dan ihsan,” jelasnya.
Kedua, kita harus memahami Islam normatif dan dan historis. Perbedaan antara wilayah teks, pemikiran Islam, serta wilayah praktik keberislaman yang dilakukan umat muslim.
”Meskipun Islam secara substantif tidak akan berubah sejak kelahirannya sampai hari akhir, namun pembumian Islam tidak lepas dari waktu, situasi, kondisi dan konteks yang mengitarinya,” terang Aji.
Aji mencontohkan yang tsabit (tetap) secara normatif seperti ibadah mahdhah. Tapi ada pula yang membutuhkan kreasi supaya Islam bisa salih lil zaman wa makan (baik di semua waktu dan tempat).
”Muhammadiyah menawarkan Islam berkemajuan untuk mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin,” terang Aji kemudian.
Ketiga, membangun Islam kaffah adalah dengan memperkuat kajian terhadap produk-produk pemikiran ulama seperti fatwa, kompilasi hukum Islam, jurisprudensi, undang-undang, dan penjenjangan ilmu hukum Islam.
”Pemahaman islam yang kaffah tidak akan terjadi ketika produk-produk pemikiran para ulama tidak dikaji dengan baik. Maka wajib bagi akademisi menguasai berbagai warisan intelektual baik bidang fiqh, tafsir, hadits, tasawuf dan lain-lain,” imbuhnya.
Khusus para akademisi Muhammadiyah tentu harus menguasai produk-produk hukum Majelis Tarjih dan Tajdid, juga keputusan-keputusan Muhammadiyah.
Keempat, penguatan metodologi studi Islam adalah syarat untuk menjadi muslim kaffah. Objek kajian Islam, meliputi semua hal yang membicarakan tentang Islam, baik di level wahyu, hasil pemikiran para ulama, maupun praktik keberislaman di tengah masyarakat.
Perbedaan pada level kajian ini, sambung dia, menghendaki perbedaan dalam menggunakan pendekatan dan metode. ”Islam pasti benar, tetapi cara pandang kita, cara pemahaman kita belum tentu benar, sehingga membutuhkan panduan supaya tidak sesat pikir,” katanya.
Aji memjelaskan, para ulama membekali kerangka berpikir berupa ushul fiqh dan qawaid fiqhiyah sebagai metodologi berpikir.
”Metodologi berpikir ini juga terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan seiring dengan kompleksitasnya problem keumatan dan kemanusiaan,” pungkasnya.
Penulis Arifah Wikansari Editor Sugeng Purwanto