Muhammadiyah Bukan Persinggahan Terakhir untuk Pengabdian, Kolom oleh Abdullah Sidiq Notonegoro, aktivis Muhammadiyah.
PWMU.CO – Ada perdebatan menarik—sekaligus sedikit memanas—terkait dengan regenerasi kepemimpinan di lingkungan Muhammadiyah. Mungkin ini efek dari semakin dekatnya perhelatan Muktamar Ke-48 Muhammadiyah di Surakarta, 18-20 November 2022. Muktamar ini akan diikuti musyawarah wilayah (musywil), daerah (musyda), cabang (muyscab), dan ranting (musyran).
Musyawarah-musyawarah tersebut menyangkut keniscayaan tentang penyegaran kepemimpinan persyarikatan di masing-masing tingkatan.
Ada sebagian kalangan muda yang merasakan proses regenerasi di internal Muhammadiyah belum berjalan dengan baik. Kemandegan regenerasi tersebut terukur dari keberadaan seorang pimpinan persyarikatan yang seolah tak tergantikan dari periode ke periode, dari satu posisi ke posisi lainnya,—yang hakikatnya masih sederajat.
Pengaderan demi pengaderan diprasangkai hanya sebagai ritus formal organisasi dan tak lebih dari sekadar menjadi program formal yang bersifat rutinitas. Makna filosofis pengaderan sebagai wadah penyemaian generasi pelanjut menjadi pepesan kosong penuh basa-basi.
Sebaliknya, yang menurut kaum muda dikategorikan sebagai kalangan tua pun, sebagian merasa belum saatnya untuk digantikan. Perasaan masih bisa bermanfaat di jajaran kepemimpinan persyarikatan, atau bahkan merasa masih sangat dibutuhkan oleh persyarikatan. Terlebih lagi, secara populis masih sangat dikenal oleh mayoritas warga Muhammadiyah, maka hal tersebut menjadi modal dasar penguat bahwa kehadirannya masih sangat diperlukan.
“Semoga menjadi Muhammadiyah sampai akhir hayat, namun jangan bercita-cita menjadi pimpinan Muhammadiyah sampai akhir hayat.”
Namun demikian, sebagian besar yang lain berharap tidak ada arogansi atau hegemoni generasi, baik oleh kaum muda maupun kaum tua saja. Tidak sedikit harapan bahwa estafet kepemimpinan di Muhammadiyah ini harus berjalan secara alamiah dan evolutif, dengan tidak mengesampingkan orientasi dari pengaderan yang selama ini dijalankan.
Maka kemudian diusulkan adanya kompromi berdasarkan persentase. Ada yang menginginkan formasi kepemimpinan tua : muda = 50 : 50, ada yang usul 40 : 60. Sebagian yang lain mendorong kaum muda untuk mendominasi kepengurusan di tingkatan majelis, dan seterusnya.
Bahkan harapan adanya kompromi tersebut tidak berhenti pada kesadaran moral saja, namun juga dituangkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Muhammadiyah, yang artinya perlu ada perubahan aturan formal organisasi.
Misalnya, jika selama ini dalam Pasal 17 ayat (3) AD/ART Muhammadiyah menyebutkan bahwa jabatan “Ketua Umum Muhammadiyah” baik di tingkat pusat, wilayah, daerah, cabang dan ranting dapat dijabat oleh orang yang sama dua kali masa jabatan berturut-turut. Muncul ide liar agar kata “berturut-turut” dihapuskan, dan pembatasan dua periode tidak hanya berlaku untuk ketua (umum) saja, namun seluruh unsur pimpinan harian.
Tua Muda Bukan di Angka
Semoga menjadi Muhammadiyah sampai akhir hayat, namun jangan bercita-cita menjadi pimpinan Muhammadiyah sampai akhir hayat. Kalimat satir tersebut berkali-kali saya mendengar, meski dengan narasi yang berbeda. Kalimat tersebut memberikan pemahaman bahwa regenerasi dan estafet kepemimpinan di Muhammadiyah tidak boleh berhenti.
Karena regenerasi dan estafet kepemimpinan tidak boleh berhenti, maka roda pengaderan pun harus terus bergerak. Sekali roda pengaderan itu berhenti, maka risikonya adalah sekian banyak calon kader terbengkalai. Namun lebih berbahaya lagi jika roda pengkaderan terus bergerak, kader-kader militan nan potensial kian banyak, tetapi ruang persyarikatan masih tertutup rapat.
Muhammadiyah bukanlah terminal persinggahan terakhir. Telah banyak ditauladankan oleh para elite Muhammadiyah bahwa estafet pengabdian di Muhammadiyah itu dinamis. Maka pendadaran di internal persyarikatan itu diharapkan berlanjut menjadi kader umat dan berikutnya kader bangsa. Dan setiap personal Muhammadiyah harus mengkristalisasi keteladanan itu dalam menjalankan peran kemuhammadiyahannya. Jangan seumur hidup menjadi pimpinan Muhammadiyah, sehingga menghambat jalan regenerasi.
“Para senior bisa melangkah dari ruang persyarikatan ke ruang keumatan atau kebangsaan yang lebih menantang.”
Tetapi penting digarisbawahi, “tua” dan “muda” tidaklah tepat jika hanya didasarkan pada persoalan angka. Tidak sedikit generasi Muhammadiyah yang usianya belum setengah abad, namun yang dipikirkan justru hal-hal yang sangat recehan, pragmatis, dan bahkan cenderung stagnan. Sebaliknya yang usianya sudah melampaui setengah abad lebih justru pemikirannya dinamis, ide-idenya yang relevan dengan perkembangan zaman dan tantangan Muhammadiyah di masa depan.
Perlu disadari, Muhammadiyah lahir dari sikap, pemikiran, dan langkah KH Ahmad Dahlan dalam memanusiakan paham Islam yang ingin kembali pada al-Quran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang membuka pintu ijtihad untuk kemajuan hingga memberi karakter khas dari kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari (Rusli Siri, 2019).
Maka dalam rangka menyambut estafet kepemimpinan Muhammadiyah di masa yang akan datang—entah berkaitan dengan muktamar, musywil, musyda, musycab ,maupun musyran—memprioritaskan untuk mengakomodasi personal-personal yang berpikiran progresif, dinamis dengan orientasi berkemajuan jauh lebih utama.
Sebaliknya, meski secara usia masih belia, namun dari segi pemikiran dan dinamikanya dalam berMuhammadiyah mengalami stagnasi dan mudah silau dengan gemerlap ideologi di luar Muhammadiyah, seyogyanya tidak perlu mendapatkan ruang sejengkal pun dalam kancah kepemimpinan di persyarikatan.
Tetapi, menjadi kearifan dan kebijaksanaan tersendiri, jika kaum muda yang memiliki wawasan serta gagasan yang progresif dan dinamis diberi ruang yang lebih luas. Mungkin ruang tersebut harus menuntut kerelaan dan keikhlasan yang lebih senior. Misalnya, melangkah dari ruang persyarikatan ke ruang keumatan atau kebangsaan yang lebih menantang. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni