Kembali ke UUD 45 oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan pendiri Rosyid College of Arts.
PWMU.CO- Saat komitmen bacapres Anies Baswedan untuk kembali ke UUD 45 dipertanyakan, pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan, gagasan untuk kembali ke UUD 45 naskah asli adalah keinginan besar tentara.
Selanjutnya dia mengatakan, persoalan Republik ini bukan soal rancangan UUD, tapi praktik nyata politik. Baik Orde Lama ataupun Orde Baru adalah bukti nyata bagaimama UUD 45 ditafsirkan dan dipraktikkan sesuai agenda kekuasaan Soekarno dan Soeharto.
Ini pernyataan yang sulit dibantah, tapi menyembunyikan kesalahan yang berbahaya. Seperti MPR hasil reformasi yang seenaknya menggganti UUD 45. Refly mengibaratkan seperti anak mempertanyakan status akad nikah ayah ibunya sendiri.
Pembentukan negara seperti dinyatakan dalam keseluruhan UUD 45 adalah hasil kesepakatan agung para pendiri bangsa. Oleh al-Quran, negara itu disebut sebagai mitsaaqan ghaalidhah, setara dengan aqad nikah.
Kita boleh saja tidak suka dengan siapa ayah ibu kita, tapi kita sebagai anak hasil aqad nikah itu tidak punya pilihan kecuali menerima aqad nikah itu apa adanya. Perubahan aqad bisa dilakukan dengan addendum untuk merespons dinamika disruptif global, regional dan nasional.
Fitrah negara kepulauan bercirikan nusantara dengan keragaman hayati dan budaya yang luar biasa, serta dengan bentang alam seluas Eropa ini meniscayakan pemerintahan maritim yang kuat serta desentralisasi.
Jika Prof. Kaelan dari UGM mengatakan, sejak penggantian UUD 45 menjadi UUD 2002 bangsa ini telah murtad, maka bisa dikatakan juga kita telah menjadi bastard yang lahir di luar nikah.
Penting segera untuk disadari kehidupan kita bukan soal infrastruktur dan gedung megah pencakar langit serta pabrik, tapi serangkaian jalinan janji dan kesepakatan. Begitulah kesetiaan pada janji dan kesepakatan para pendiri bangsa itu merupakan nilai penting dalam kehidupan bersama yang ditandai kemajemukan. Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar slogan kosong, tapi amanah yang mensyaratkan kesetiaan.
Praktik politik tidak bisa menjadi alasan mengapa UUD 45 bisa diganti dengan UUD 2002. Jika UUD bisa diganti oleh MPR hasil Pemilu, maka kesesatan praktik politik akan selalu memperoleh pembenaran UUD melalui penggantian tersebut. Kita akan kehilangan norma dasar negara. Ini berbahaya karena kita kehilangan pedoman.
Jika setiap generasi boleh mengganti kesepakatan awal pendirian negara, maka kita seperti membangun rumah pasir yang tidak kunjung selesai. UUD 45 bukan sekadar dokumen akademik, tapi ia adalah dokumen sejarah yang menjadi fondasi negara ini.
Sinyalemen bahwa kembali ke UUD 45 adalan keinginan tentara adalah tidak benar. Dwi fungsi ABRI adalah praktik politik Orba seperti dwi fungsi polisi adalah praktik politik rezim Jokowi.
Jika dwi fungsi ABRI adalah hasil tafsir Soeharto, banyak maladministrasi publik seperti dwi fungsi polisi adalah buah dari kesalahan tata kelola yang lahir dari UUD 2002.
Benar sinyalemen Prof. Sri Edi Swasono bahwa deformasi besar-besaran kehidupan berbangsa dan bernegara adalah fitur orde reformasi yang paling nyata. Contoh mutakhir maladministrasi publik adalah bagaimana pemerintah memberikan HGB 160 tahun untuk menarik investor IKN.
Kembali ke UUD 45 adalah pertobatan dari kemurtadan dan kebastardan bangsa ini. Hingga itu terjadi maka semua kehidupan berbangsa dan bernegara yang tercengkeram bandit, bandar, dan badut politik saat ini adalah ekspresi para munyuk yang terkutuk.
Ngawi, 8 Oktober 2022
Editor Sugeng Purwanto