PWMU.CO – Pakar psikologi Ni’matuzahroh SPsi Msi mengatakan bahwa emosi—sebagai perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang sedang berada dalam suatu keadaan atau suatu interaksi yang dianggap penting–tidak hanya terjadi pada orang dewasa, melainkan juga bisa timbul dalam diri bayi.
“Emosi bayi diwakili oleh perilaku yang mengekspresikan kenyamanan atau ketidaknyamanan terhadap keadaan atau interaksi yang sedang dialami. Emosi juga bisa berbentuk sesuatu yang spesifik separti rasa senang, takut, marah, dan seterusnya,” tuturnya saat menjadi ‘guru’ dalam Sekolah Ibu, Ahad (5/3) di Kampus II UMM.
(Berita terkait: Aisyiyah Dirikan Sekolah Ibu, agar Bukan Bayi yang Disekolahkan)
Sebagai contoh, kata Zahroh—panggilan karibnya–seorang bayi bisa menunjukkan ketakutan yang luar biasa atau yang biasa saja pada situasi tertentu. “Bayi menangis karena ia merasa lapar, dan tangisan itu berubah menjadi tangisan panik bila didiamkan terlalu lama,” jelasnya.
Dosen UMM ini menambahkan, pada usia tiga bulan, bayi bisa merasakan perasaan tertekan di satu pihak dan dan perasaan senang atau gembira di lain pihak. “Berarti senang dan gembira merupakan perkembangan emosi baru yang sifatnya baru dan tidak terdapat ketika lahir,” papar Zahroh.
(Baca juga: Ber-Ayah tapi Tak Ber-Ayah: Tips Menikah bagi Kader ala Dahnil A. Simanjuntak)
Dia menjelaskan, pada usia lima bulan muncul perasaan marah dan benci, yang merupakan sisi lain perkembangan perasaan tertentu yang terganggu. Pada usia tujuh bulan, lanjutnya, mulai nampak adanya perasaan takut. “Kemudian umur 10-20 bulan, perasaan bersemangat dan kasih sayang mulai terpisah dari perasaan senang atau gembira. Makin besar anak itu, makin besar pula kemampuannya untuk belajar dari lingkungan, sehingga perkembangan emosinya semakin rumit,” kata dia.
Zahroh mengingatkan, bahwa seorang ibu harus memerhatikan betul ketika bayi mulai menggunakan kata-kata permulaan. “Ada pengembangan bahasa. Ia mulai bersuara untuk mengingatkan kehadirannya pada orang dewasa dan ibunya,” ungkapnya.
(Baca juga: Abai Anak Yatim Berarti Abai Kesejarahan Nabi Muhammad)
Jangan bingung, tutur Zahro, ketika bayi meracau (mengoceh) dengan menggunakan suara dan lafal tertentu sebagai alat komunikasi dengan orang dewasa. “Ia berceloteh dengan riang, jika hatinya merasa senang gembira. Celotehan ini akan bernada tinggi dan mengeras bunyinya, jika dia merasa tidak sabaran dan tidak senang. Lalu berganti jadi geram dan tangis,” katanya.
Menurut dosen psikologi ini, bayi juga makhluk sosial yang membutuhkan adanya orang lain. Terutama kasih sayang dan perlindungan dari segala gangguan. “Mohon diingat, ibu merupakan orang pertama yang dikenalnya, karena ibulah yang merawatnya dan selalu berada didekatnya. Hubungan dengan ibu ini sangat erat, sehingga bila ditinggal oleh sang ibu dia akan menangis,” kata Zahroh yang memberi materi tentang ‘Perkembangan Fisik, Kognitif, Sosio-Emosi Masa Prenatal dan Bayi’. (Uzlifah)