PWMU.CO – Dakwah Islam, pada dasarnya adalah kegiatan mengajak orang lain untuk menjadi lebih baik. Karena itu, proses berdakwah harus dilakukan secara manusiawi, menggembirakan, dan memudahkan. Hal tersebut dinyatakan Nadjib Hamid saat menyampaikan materi ‘Dakwah Kultural’, dalam Baitul Arqam Pimpinan Cabang Aisyiyah Candi, Sidoarjo (12/3).
“Sayangnya, tidak sedikit mubaligh yang dalam dakwahnya bertindak sebaliknya, menyalah-nyalahkan fihak lain, dan mempersulit orang yang sedang berusaha menjadi lebih baik. Sehingga tidak menumbuhkan simpati, tapi antipati,” tuturnya.
(Baca juga: Dulu Rasan-Rasan sambil Petan, Kini Ngrumpi via WhatsApp)
Menurut Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim tersebut, dakwah kultural selama ini disalahfahami sebagai konsep dakwah yang serba boleh, dan mentolerir amalan bid’ah, khurafat, dan takhayul (TBC). Padahal, kata dia, dakwah kultural adalah model pendekatan dakwah yang memandang obyek dakwah secara manusiawi.
Oleh karena itu, kata Nadjib, setidaknya ada lima prinsip yang harus dipegangi dalam berdakwah, yaitu menggembirakan dan memudahkan, mencerahkan, memberikan alternatif penyelesaian, menghargai potensi lokal, dan memberikan keteladanan.
(Baca juga: Ibarat Air, Muhammadiyah Harus Terus Mengalir, Tak Boleh Ngendon)
“Dakwah Aisyiyah harus mencerahkan dan menyelesaikan masalah, tidak asal beda. Karena kalau asal beda dengan tradisi setempat tanpa didukung dalil yang kuat, bisa terperangkap pada bentuk taqlid yang lain,” tandasnya.
Dalam kasus acara Yasinan, misalnya. Penolakan orang Muhammadiyah dan Aisyiyah terhadap acara yang sangat digemari sebagian masyarakat itu, selama ini relatif tanpa alternatif solusi. Padahal bagi pengamal Yasinan, acara itu dianggap sebagai ukuran ke-Islaman. Oleh karena itu, menurut dia, pengalaman Pak AR Fahruddin ketika diminta memimpin acara Yasinan di Palembang, bisa jadi contoh alternatif penyelesaian masalah dakwah.
(Baca juga: Gerakan Islam Berkemajuan Tidak Boleh Terbelenggu oleh Sekat Primordial)
“Pak AR tidak mengikuti model Yasinan seperti biasanya, tapi menawarkan Yasinan model baru, seperti pengajian tafsir surat Yasin. Yakni, membacakan ayat per-ayat, lalu menerjemahkan dan menjelaskan kandungan isinya,” ujar Nadjib.
Ia mengimbau agar warga Aisyiyah terus memperdalam pengetahuan agamanya agar tidak gampang menyalahkan orang lain. “Jangan seperti kejadian seabad yang lalu, KH Ahmad Dahlan dituduh sebagai kiai kafir, gara-gara memakai dasi dan bangku saat mengajar. Alasannya, tasyabuh (menyerupai) dengan cara-cara yang dikapai orang kafir Belanda. Tapi si penuduh tidak sadar, pada saat yang sama dirinya juga memakai kendaraan kereta api yang bikinan orang kafir,” kisahnya.
“Jika kita sekarang juga gampang menghukumi haram setiap perbuatan yang dianggap berasal dari Barat, tanpa memahami duduk perkaranya, berarti alam fikir kita mundur lebih dari seabad yang lalu,” sindirnya seraya menambahkan bahwa dalam menghukumi sesuatu amalan hendaknya berpatokan pada prinsip-prinsip yang diajarkan nabi.
Karena materi yang disampaikan pada sesi terakhir tersebut sangat bersentuhan dengan praktik kehidupan keseharian, para peserta pun terlihat antusias. Berbagai pertanyaan diajukan, seputar ketentuan hukum mengenai praktik keagamaan di lingkungannya–yang semuanya dijawab dengan cara dan argumentasi yang sederhana.
(Baca juga: Di Tangan Muhammadiyah Bhaksos Jadi Menggembirakan)
Misalnya, tentang peringatan ulang tahun (ultah). Sebagian peserta menghukumi haram, dengan alasan nabi tidak pernah mengajarkan ultah, “Itu produk Barat,” tutur salah satu peserta yang juga guru Taman Kanak-kanak (TK). Tapi si penanya tidak berkutik ketika ditanya balik tentang hukum milad. “Kalau milad, hukumnya sunnah,” jawab si guru TK.
Mantan Sekretaris PWM Jatim itu lantas menjelaskan, milad dan ulang tahun itu semakna. Bedanya, cuma bahasa Arab dan bahasa Indonesia. “Apa iya, status hukum tentang sesuatu hal bisa berbeda karena bahasa? Milad, berbahasa Arab berarti halal. Sedangkan ultah, karena berbahasa Indonesia berarti haram?” tanya Nadjib, disambut peserta dengan tertawa, yang menandakan sudah tahu maksudnya bahwa dalam urusan di luar ibadah mahdhah, sepanjang di dalamnya tidak ada amalan yang menyimpang dari ketentuan syariat, berarti boleh.
Kegiatan yang berlangsung di Pusat Pelatihan Agro Mulia, Pasuruan selama dua hari (11-12/3), ini menurut Prayekti, Ketua Pimpinan Cabang Aisyiyah Candi, selain dimaksudkan sebagai arena konsolidasi juga untuk peneguhan ideologi. Turut hadir pula beberapa narasumber dari Pimpinan Daerah Aisyiyah Sidoarjo. (alan)