Diskusi RBC Institute: Indonesia Emas 2045 Tergantung Proses Politik 2024; Liputan David Krisna Alka.
PWMU.CO – Rumah Baca Cerdas (RBC) Institute Abdul Malik Fadjar UMM bekerja sama dengan Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB) menyelenggarakan diskusi reflektif bertema “Wajah Indonesia Masa Depan di Mata Intelektual Muda Muhammadiyah”, Kamis (29/12/2022) malam.
Momen tahunan tersebut dihadiri oleh berbagai narasumber yang memiliki kepakaran di berbagai bidang kehidupan. Yakni Dr Nazaruddin Malik (Penasihat RBC Institute/ekonom), Dr Hendri Saparini (pakar moneter), Yulianti Muthmainnah (aktivis KUPI), Dr Desvian Bandarsyah (sejarawan), Dr Musa Maliki (analis geopolitik dan geostrategik), Husein Jafar al-Hadar (agamawan), Khoirunnisa Nur Agustyati (Direktur Eksekutif Perludem) dan Jumadil Alfi (seniman).
Para peserta yang hadir dalam acara ini sangat beragam. Tidak hanya para aktivis di lingkungan Muhammadiyah, namun juga berbagai ormas keagamaan lainnya. seperti Nahdlatul Ulama, Persis, dan Al-Irsyad. Di samping itu, para birokrat, aktivis pergerakan nasional dan aktivis politik juga turut meramaikannya.
M. Subhan Setowara menyatakan tujuan dari acara ini adalah refleksi intelektual mengenai apa yang telah terjadi di Tanah Air pada sepanjang 2022 ini dan apa yang akan terjadi nanti. Menurut Direktur Eksekutif RBC Institute ini, di tahun 2022 terjadi berbagai perubahan yang signifikan, baik itu karena pandemi Covid-19 maupun perang antara Rusia dan Ukraina.
Sementara itu, David Krisna Alka berpandangan masalah-masalah kompleks yang terjadi di Indonesia harus diurai agar menjadi lebih jelas. Menurut pendiri JIB ini, kejelasan inilah yang akan membuka segala kemungkinan untuk menyelesaikannya.
Bagi Hasnan Bachtiar, aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) sekaligus pemandu acara saat itu, dinamika global yang berlangsung sangat berpengaruh pada dinamika di negara kita, baik itu dalam konteks politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Abaikan the Global Project
Hendri Saparini membenarkan apa yang dikemukakan Hasnan. Ia mendiagnosis terdapat indikasi negara-negara di dunia mengabaikan the global project yang sangat penting, yakni ekonomi hijau.
“Mereka cenderung mengadopsi teknologi maju, tapi di saat yang sama bersepakat mengeliminasi emisi karbon. Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi berjalan beriringan dengan kerusakan lingkungan. Akibatnya, itulah yang menjauhkan kita dari pertumbuhan ekonomi yang inklusif,” jelas dia.
Dari apa yang disampaikan Hendri, Musa Maliki melihat perhatian yang berlebihan pada ekonomi eksklusif berakar pada masalah meluapnya libidinalitas para elite. Hasrat ekonomi para elite global dan dalam negeri berdampak pada lahirnya berbagai krisis dan kesengsaraan umum.
Desvian Bandarsyah mengurai sengkarut masalah yang terjadi di dalam negeri. Menurutnya, Indonesia mengalami kerentanan dalam menghadapi masa depan karena adanya lima masalah besar.
Secara kultural para elite masih cenderung korup. Di samping itu, mereka lebih suka berkonflik ketimbang berkolaborasi secara progresif. Akibatnya, negara dan pemerintahan tidak dikelola secara optimal. Di sisi lain, kesenjangan sosial dan ekonomi masih terlalu besar. Sementara itu, mayoritas penduduk Indonesia masih didominasi oleh mereka yang hanya tamatan sekolah dasar.
Desvian mengatakan, kelima masalah yang berkelindan itu mengancam visi Indonesia Emas pada 2045 mendatang. Proyeksi adanya bonus demogarfi (sekitar 180 juta penduduk berusia produktif) tidak akan bermakna apa-apa apabila generasi muda tidak punya pengetahuan yang mumpuni, keterampilan yang baik dan kemampuan bertahan hidup yang hebat, serta keberanian mengendalikan percaturan global.
Masa Depan Indonesia Emas 2054
Khoirunnisa Nur Agustyati menanggapi bahwa masa depan 2045 tergantung pada proses politik 2024 nanti. Tanpa demokrasi yang baik dan tanpa elite yang punya kenegarawanan yang kokoh, mustahil menghasilkan keputusan politik yang berkeadaban. Memang saat ini, demokrasi prosedural yang berlangsung memiliki nilai yang relatif baik. Di samping itu, peran masyarakat sipil juga kuat.
“Masalahnya adalah agama masih menjadi komoditas politik. Coservative turn yang melahirkan gerakan populisme Islam pada 2016 dan 2019 lalu, diprediksi akan muncul ke permukaan pada 2023 nanti,” kata dia.
Hal inilah, sambungnya, yang memicu respon yang berlebihan dari penguasa, sehingga muncul apa yang dimaksud dengan authoritarian turn. Keduanya, baik yang konservatif maupun yang otoriter, sama-sama mendorong merosotnya kualitas demokrasi substansial.
Di samping masalah instrumentalisasi agama untuk kepentingan politik, menurut Husein Ja’far, kita juga berhadapan dengan masalah kesehatan mental, terutama di kalangan anak muda. Hal ini juga diperberat dengan bukan lagi disrupsi informasi, namun juga lemahnya tradisi berpikir kritis. Ia memprediksi bahwa di tahun depan, arena kontestasi realpolitik yang genap dalam memolitisasi agama, akan bergeser dari Twitter ke TikTok.
Google Didominasi Maskulinitas
Isu lain yang tidak kalah penting adalah perempuan. Menurut Yulianti Muthmainnah, soal perempuan ini kompleks. Masalah yang dihadapi bukan hanya HAM, namun juga masalah kultural.
“Kultur kelelakian terlalu kuat. Bahkan yang menarik, algoritma Google juga menunjukkan kecenderungan yang didominasi oleh maskulinitas,” katanya.
Dia menjelaskan, kendati HAM dan HAM perempuan belum terpenuhi secara sempurna, namun gerakan-gerakan mengenai HAM dan perempuan semakin berkembang. Di samping itu, hal ini didukung oleh berbagai institusi keagamaan yang berkemajuan.
“Dalam menghadapi berbagai masalah kompleks yang ada, menurut Letyzia Taufani, seorang kandidat doktor filsafat sosial dari Perancis, kita harus berpikir optimis, berharap adanya perubahan menuju kebaikan dan memperjuangkan setiap kesempatan yang ada,” ujarnya.
Menurut dia, generasi muda Indonesia memiliki ciri khas, keunikan dan kekuatan yang akan mampu menyelesaikan berbagai masalah tersebut. Karena itu, tunas-tunas muda tanah air harus diberi kesempatan untuk menantang hidup.
Hal senada disampaikan oleh seniman Jumadil Alfi. Ia menyadari bahwa agama justru harus menjadi kekuatan pemersatu dan inspirasi penyelesai masalah. Karena itu, agama yang sejatinya menyatu dengan kebudayaan harus diarahkan menuju kepada rekayasa kebudayaan yang berkebajikan. Seni, dalam konteks ini, ampuh dalam memperhalus, mempertajam dan memperdalam rasa di dalam hati.
Sebagai ikhtitam dalam diskusi reflektif tersebut, Amiruddin, mantan Komisioner Komnas HAM menyatakan,“Masalah-masalah yang kita bicarakan, bukan hal yang jauh dari kehidupan sehari-hari kita. Karena itu, kita perlu mengumpulkan dan menganalisis data yang lebih akurat dan tepat. Dengan data yang akurat dan tepat itulah, kita akan mampu mendiagnosis secara lebih baik dan bahkan menyelesaikan masalah secara lebih efektif.” (*)
Editor Mohammad Nurfatoni