Perppu Cipta Kerja Merusak Supremasi Konstitusi oleh Dr Fahri Bachmid MH, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi dan Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia.
PWMU.CO– Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja diterbitkan Presiden Joko Widodo, 30 Desember 2022.
Perppu Omnibus Law itu tidak berlandaskan moralitas konstitusional maupun prosedur pembentukan undang-undang. Pembentukan undang-undang itu wajib berpijak pada moralitas konstitusional yang berada dalam UUD 1945. Yaitu penghormatan terhadap prinsip kedaulatan rakyat secara penuh dengan menjadikan konstitusi sebagai the supreme law of the land.
Pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat secara formil. Lewat Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, MK menyatakan, UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. MK meminta UU ini diperbaiki dalam dua tahun.
Tapi kini Jokowi menerbitkan Perppu Cipta Kerja dengan alasan kegentingan yang memaksa karena kondisi ekonomi global yang harus cepat direspons pemerintah, salah satunya imbas perang Rusia – Ukraina.
Kegentingan yang memaksa dijadikan sebagai sine qua non sesuai argumentasi pemerintah sangat jauh dari kaidah syarat kegentingan secara doktriner hukum tata negara darurat dengan menggunakan instrumen peraturan darurat rechtnoodverordening sesuai norma pasal 22 UUD 1945.
Kondisi serta alasan pemerintah harus dapat sejalan dengan konsep keadaan darurat yang secara doktriner disebut syarat clear and present danger (bahaya yang jelas nyata).
Dalam menetapkan syarat tidak boleh asumtif serta kalkulatif. Prinsip dasar dan parameter yuridis dalam mengonstruksikan suatu sifat dan keadaan kegentingan yang memaksa telah dirumuskan batasan konstitusionalnya oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009.
Tiga Syarat
Bukan hanya menyangkut keadaan bahaya namun harus juga diartikan dalam keadaan yang harus memenuhi tiga syarat.
Yaitu: (1) adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; (2) undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga menjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai; (3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Jika merujuk pada dalil presiden perihal ancaman ketidakpastian ekonomi global sebagai parameter kegentingan memaksa justru paradoks. Sebab sebelumnya presiden telah menyampaikan bahwa kondisi perekonomian Indonesia termasuk yang paling tinggi di antara negara-negara anggota G20 dengan capaian sebesar 5,72% pada kuartal III 2022, dan angka inflasi dalam posisi yang masih dapat dikendalikan. Dengan demikian syarat objektif ini menjadi tidak reasonable.
Perppu adalah keputusan presiden yang ditetapkannya dengan mengesampingkan DPR, karena adanya ”kegentingan yang memaksa” yang berkekuatan undang-undang. Keputusan presiden ini mengandung sifat kediktatoran konstitusional, sehingga kontrol legislasi maupun yudisial merupakan sebuah keniscayaan konstitusional.
Peran Konstitusional DPR
Ketentuan norma pasal 22 UUD 1945 mengandung pengertian ”kegentingan yang mernaksa” menjadi syarat kondisional yang harus terpenuhi, sebelum presiden mempergunakan kewenangan menetapkan perppu.
Jika ditinjau dari aspek ini, seharusnya pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas penerbitan perppu diorientasikan pada apakah telah terpenuhi ”keadaan kegentingan yang memaksa” ataukah tidak, sehingga sangat tepat jika DPR menilai substansi atau materi muatan dari perppu tersebut.
Seandainya dalam Sidang Paripurna DPR, presiden tidak bisa membuktikan serta menunjukkan adanya ”keadaan kegentingan yang memaksa” maka tentunya menurut ketentuan norma pasal 22 ayat (3) UUD 1945 Perppu tersebut harus dicabut.
Ada tiga alasan Perppu harus dicabut. Pertama, apabila dalam pembahasan Paripurna DPR diketahui bahwa tidak memenuhi syarat ”keadaan kegentingan yang memaksa”.
Kedua, perintah pencabutan ini untuk menghindari tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau kemungkinan adanya tindakan sewenang-wenang yang dilakukan dengan instrumen hukum Perpu.
Ketiga, Perppu yang dibuat secara sepihak oleh presiden, dengan konstruksi tersebut diharapkan agar DPR dapat memainkan peran-peran signifikan secara konstitusional dalam fungsi checks and balances.
Constitution Disobedience
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut Perppu Cipta Kerja menggugurkan status inkonstitusional bersyarat yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah keliru dan tidak tepat.
Sebab berdasarkan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang amarnya menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ”tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”; serta memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
Putusan MK itu menjelaskan, proses pembahasan UU Cipta Kerja melanggar prinsip-prinsip fundamental sebagai sebuah negara demokrasi konstitusional.
Pemerintah dan DPR gagal dalam menindaklanjuti putusan MK tersebut. Sekarang malah mencoba mengakali dengan terobosan hukum yang merusak pembangunan sistem hukum.
Pemerintah telah melakukan constitution disobedience atau pembangkangan konstitusi. Maka produk Perppu Omnibus Law ini tetap bermasalah dari sisi kaidah pembentukannya.
Editor Sugeng Purwanto