Ali bin Abu Thalib, sang Panglima Tangguh adalah seri kelima tulisan tentang Khulafaur Rasyidun oleh Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim 2015-2022. Tulisan pertama berjudul Abu Bakar, Tegas dalam Kelembutan. Tulisan kedua: Umar bin Khattab Mercusuar Islam. Tulisan ketiga: Umar bin Khattab dan Gadis Penjual Susu. Tulian keempat: Utsman bin Affan: Dari Sumur Berdiri Hotel Megah. Seri tulisan Khulafaur Rasyidun terbit tiap Jumat. Redaksi.
PWMU.CO – Utsman bin Affan menemui para pendemo. Mendengarkan keluhan dan tuntutan mereka. Utsman berjanji akan meluruskan para pembantunya yang tidak benar. Para pendemo puas lalu mereka pulang.
Di tengah jalan mereka bertemu dengan utusan Marwan, Sekretaris Khalifah. Utusan itu membawa surat dari Marwan kepada Gubernur Mesir. Isinya gubernur harap membinasakan semua pendemo ini. Tentu saja mereka naik pitam. Tidak jadi pulang tetapi kembali menemui Ustman. Minta agar menyerahkan Marwan kepada mereka.
Ali bin Abi Thalib mengingatkan mereka, boleh jadi surat itu bukan buatan Marwan tetapi buatan orang lain yang sengaja mengadu domba dan merusak persaudaraan umat Islam. Tetapi peringatan Ali itu diabaikan.
Emosi telah menguasai pikiran. Mereka mengepung rumah Utsman. Dan akhirnya ada yang menerobos masuk memanjat lewat rumah sebelah. Lalu membunuh khalifah yang santun itu ketika dia sedang membaca al-Quran. Darah membasahi baju Utsman. Akhirnya khalifah yang sangat dermawan itu wafat.
Setelah khalifah Ustman wafat, para pemberontak mendatangi Ali bin Abi Thalib, meminta Ali bersedia menjadi khalifah. Mereka hendak menyeret Ali untuk terlibat dalam peristiwa berdarah itu. Ali tidak bersedia menjadi khalifah. Ali tahu pembunuhan Utsman itu akan menimbulkan huru-hara besar. Fitnah akan muncul di mana-mana. Dia merasa tak sanggup mengatasi keadaan itu.
Ali sangat menyesali pembunuhan khalifah yang dilakukan para pemberontak. Dua anaknya: Hasan dan Husen adalah pemuda yang menjadi sukarelawan yang menjaga keamanan Utsman bersama pemuda lainnya. Para pemuda itu dan juga Hasan dan Husen menghunus pedangnya berjaga-jaga. Melihat itu Utsman menyuruh mereka menyarungkan pedang. Dia tidak ingin ada darah tercecer antara sesama Muslim. Hasan, Husen, dan para relawan mematuhi perintah khalifah Utsman itu.
“Maka masyarakat mendesak Ali agar bersedia menjadi khalifah. Para sahabat senior juga berdatangan minta Ali bersedia menjadi khalifah. Ali menyadari keutuhan pemerintah Islam dalam ancaman bahaya.”
Para pemberontak setelah tahu Ali tidak bersedia bahkan menolak keras menggantikan kedudukan Utsman, mereka mendatangi Thalhah. Ternyata juga tidak bersedia. Kemudian mendatangi Zubair. Dia juga menolak. Mendatangi sahabat senior lainnya. Semua menolak. Mereka mengatakan kalau Ali yang memiliki banyak keunggulan saja menolak, apalagi mereka. Maka terjadilah kekosongan pimpinan nasional. Ini sangat rawan karena kekuasaan pada masa Utsman sudah luas.
Dan terbukti beberapa daerah sudah muncul gejala akan memisahkan diri dari pemerintah pusat. Ini berbahaya. Kalau kekosongan itu tidak segera diisi, maka pemisahan daerah dari pusat itu akan benar-benar terjadi. Dan kekuatan pemerintah Islam akan terkoyak-koyak.
Maka masyarakat mendesak Ali agar bersedia menjadi khalifah. Para sahabat senior juga berdatangan minta Ali bersedia menjadi khalifah. Ali menyadari keutuhan pemerintah Islam dalam ancaman bahaya. Maka dengan berat hati ia penuhi keinginan para sahabat senior dan desakan masyarakat. Ali bersedia menjadi khalifah. Lalu para tokoh dan masyarakat mengadakan baiat kepada Ali bin Abi Thalib. Dia resmi menjadi khalifah.
Darah yang mengalir dalam diri Ali adalah darah penuh kemuliaan. Dia cucu dari orang yang memimpin suku Quraisy Kota Makkah, yaitu Abdul Muthalib. Ali juga anak dari tokoh yang dihormati yaitu Abu Thalib. Dan sejak usia enam tahun Ali ikut Rasulullah dan dididik langsung oleh beliau.
Ketika dewasa dia menjadi menantu beliau. Kemuliaan bertumpuk kemuliaan. Dia juga pemuda cerdas, pengetahuannya luas. Para khalifah, Abu Bakar, Umar, dan Utsman sering minta pendapat Ali ketika menghadapi persoalan besar atau penting. Jadi tidak benar pendapat yang mengatakan Ali kurang cocok dengan khalifah-khalifah sebelumnya. Ali sangat menghormati mereka.
Panglima Perang Tangguh
Ali bin Abi Thalib seorang yang lembut karena didikan langsung Rasulullah sejak kecil. Tetapi di medan perang dia orang yang paling disegani musuh. Zaman itu perang sering berhadap-hadapan. Tidak ada musuh yang bisa mengalahkan Ali ketika bertemu berhadapan. Tangannya sangat piawai memainkan pedang. Sering Rasulullah meminjamkan pedangnya ‘Zulfikar’ kepada Ali ketika Ali mengahdapi musuh.
Pada waktu perang Uhud, seorang pembawa bendera jahiliah berteriak: “Tidak adakah yang berani perang tanding menghadapi aku?” Tidak ada yang menyahuti tantangan itu. Mereka sedang sibuk menghadapi perang yang tengah berkecamuk. Orang itu teriak lagi: “Hai katanya kalian menganggap prajurit yang mati akan masuk sorga dan pihak kami akan masuk neraka. Mengapa di antara kalian tidak ada yang berani menghadapi saya”?
Ali tidak membiarkan orang itu mengoceh lebih panjang lagi. “Sayalah yang akan menghadapimu wahai Abu Saad bin Abu Thalhah. Majulah wahai musuh Allah!” jawab Ali. Terjadi perang tanding yang hebat. Akhirnya Abu Saad terjungkal. Ali berniat segera mengakhiri perang tanding itu.
Namun ketika Ali hendak mengayunkan pedangnya, tiba-tiba Abu Saad memelorotkan pakaiannya sehingga auratnya terbuka. Ali segera memalingkan wajahhya dan meninggalkan musuhnya itu. Kawan-kawannya bertanya mengapa tidak dilanjutkan menyelesaikan? Ali menjawab kasihan kepada orang yang tidak lagi punya rasa malu.
“Kehebatan Ali sebagai panglima perang bisa dilihat pada waktu Perang Khaibar.”
Ali berperang memang tidak untuk membunuh musuh sebanyak mungkin melainkan berjuang untuk menegakkan ajaran Allah. Sering ketika berhadapan, sebelum bertanding, Ali mengingatkan agar mengikuti agama Rasulullah dan perang tanding dianggap selesai. Tapi semua musuhnya menolak.
Pernah Ali berhadapan dengan musuh. Orang itu sudah tidak berkutik. Ali tinggal mengayunkan pedangnya. Maka tamatlah orang itu. Namun sebelum itu, tiba-tiba musuhnya meludahi wajah Ali. Ali terkejut lalu membiarkan musuh itu hidup. Dia meninggalkannya. Ketika ditanya mengapa itu dilakukan? Ali takut jangan-jangan dia membunuh orang itu tidak murni karena Allah melainkan karena didorong rasa marah setelah diludahi wajahnya.
Inilah panglima perang yang tangguh dan bisa garang di medan perang tetapi sekaligus sangat lembut, mudah kasihan dan sangat ikhlas.
Kehebatan Ali sebagai panglima perang bisa dilihat pada waktu Perang Khaibar. Benteng Khaibar terkenal kokoh yang sulit ditembus. Abu Bakar bersama pasukan pernah menyerang benteng ini tapi terpukul mundur. Hari berikutnya satu kompi di bawah Umar bin Khattab menyerang juga gagal. Tapi Rasulullah tidak putus asa. Ingin tetap menaklukkan benteng kokoh itu. Lalu pandangannya menuju ke seluruh pasukannya.
“Esok akan kuserahkan bendera Islam ini kepada seseorang yang mencintai dan dicintai Allah dan rasulnya. Melalui tangannya Allah akan memberikan kemenangan.” Umar mengaku ingin sekali Rasul menunjuknya. Semua orang menunggu dengan berdebar dan ingin tahu siapakah orang yang ditunjuk Rasul dan yang akan bisa menaklukkan Khaibar membawa pasukan Islam dalam kejayaan?
Tiba-tiba Rasul berkata: “Mana Ali bin Abi Thalib?” Saat itu Ali berada di tengah-tangah pasukan.
“Ini saya wahai Rasulullah” jawab Ali. Ali diminta maju. Ternyata Ali sakit mata. Tidak memenuhi syarat sebagai panglima perang pembawa bendera Islam. Nabi lalu membasahi jari dengan air ludahnya kemudian diusapkan ke mata Ali. Dengan izin Allah sakit mata Ali seketika sembuh. Lalu dia yang memimpin Perang Khaibar. Akhirnya benteng Khaibar itu bisa ditaklukkan. Ali berhasil membawa kemenangan gemilang. Apa yang diramalkan Rasulullah menjadi kenyataan.
Lembaran Hitam
Terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib lembaran hitam dalam sejarah Islam. Perang saudara, perang sesama kaum Muslimin. Perang Siffin yaitu perang antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah. Berikutnya Perang Jamal atau Perang Onta yaitu perang antara Aisyah, istri Rasulullah dengan Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah dan anak didik kesayangannya.
Setiap kali mengenang ini hati rasanya terkoyak. Teriris-iris. Tapi itu bagian dari sejarah yang harus kita terima dengan sikap dewasa.Pembunuhan Utsman bin Affan memang berdampak panjang. Setelah Ali bersedia menjadi khalifah demi keutuhan pemerintah Islam, maka para gebernur melakukan baiat. Mereka yang di masa Utsman melakukan penyelewengan diganti dengan gubernur yang lebih jujur dan amanah. Salah seorang yang enggan baiat atau mengakui Ali sebagai khalifah adalah Muawiyah, Gubernur Syria. Dia keluarga dekat Utsman bin Affan.
Dia mau mengakui Ali sebagai khalifah kalau Ali menyerahkan pembunuh Utsman. Kalau tidak diserahkan, maka ada dua kemungkinan. Pertama, Ali berada di balik pembunuhan itu. Ali otak pembunuhan Utsman. Kedua: Ali sengaja melindungi sang pembunuh karena sang pembunuh adalah orangnya Ali.
“Muawiyah adalah politikus licin. Baju Utsman yang berlumuran darah dia bawa keliling untuk meraih dukungan massa dan memanaskan emosi mereka.”
Kalau tuntutannya belum dipenuhi, Muawiyah tidak mau mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Padahal boleh jadi Ali benar-benar tidak tahu siapa pemberontak dari Mesir yang membunuh Utsman itu. Baiat mestinya dilakukan sambal mencari siapa pembunuh Utsman.
Muawiyah adalah politikus licin. Baju Utsman yang berlumuran darah dia bawa keliling untuk meraih dukungan massa dan memanaskan emosi mereka. Masyarakat mengenal Utsman adalah khalifah dermawan dan rendah hati. Emosi masyarakat terbakar melihat baju Utsman itu. Termasuk Aisyah, istri Rasulullah. Maka beliau dengan naik onta membawa pasukan menghadapi Ali. Karena Aisyah naik onta maka disebut Perang Jamal atau Perang Onta.
Tentu tidak sulit bagi Ali meringkus pasukan Aisyah. Lalu beliau diamankan dengan penuh penghormatan. Semua pasukan Aisyah diampuni. Harta mereka dikembalikan. Dan Aisyah diantar pulang dengan penuh kemuliaan.
Penghianatan Muawwiyah
Adapun Muawiyah ceritanya lain. Dia tahu Ali akan memaksanya untuk baiat. Karena itu Muawiyah menyiapkan pasukan menghadapi Ali. Dia menyerang dulu. Lebih baik mendahului. Maka terjadi peperangan antara kedua pasukan di tempat yang bernama Siffin. Karena itu perang ini disebut Perang Siffin.
Pasukan Muawiyah terus terdesak dan hampir mengalami kekalahan. Maka pasukan itu segera mengangkat al-Quran di ujung tombak. Tanda tahkim. Mencari jalan keluar melalui al-Quran. Ali sebenarnya kurang percaya dengan niat tulus Muawiyah. Ali kenal betul siapa Muawiyah. Selain itu Ali adalah khalifah sedang Muawiyah gubernur. Tidak setingkat. Sebagian pasukan juga tidak setuju. Kemenangan sudah di mata. Mengapa harus berunding? Tapi sebagian pasukannya meminta Ali melayani tahkim itu karena yang diangkat adalah al-Quran.
Masing-masing mengutus satu orang perwakilan yang diberi kuasa penuh mengambil keputusan. Dari Muawiyah mengutus Amr bin Ash, orang yang berpengalaman dalam diplomasi. Sedang dari pasukan Ali diwakili Abu Musa Al Asyari, ulama yang jujur, terkesan lugu. Ali sebenarnya kurang mantap, tetapi Abu Musa adalah usulan dari para pasukan.
“Ali dibunuh ketika hendak menjadi imam shalat Subuh. Sepeninggal Ali maka Muawiyah menjadi khalifah.”
Keputusannya, demi persaudaraan keduanya harus menyatakan mundur dari jabatan. Kemudian akan diatur lagi. Abu Musa diminta menyampaikan lebih dahulu. Dengan tenang dia mengatakan mewakili Ali bin Abi Thalib, demi ukhuwah kini menyatakan mengundurkan diri sebagai khalifah. Amr bin Ash segera naik mimbar. Di luar dugaan, Amr bin Ash menyatakan bahwa karena Ali bin Abi Thalib sudah mengundurkan diri, dan tidak boleh ada kekosongan, maka mulai sekarang Muawiyah yang menjadi khalifah.
Ini memang semacam pengkhianatan. Tapi seperti nasi sudah menjadi bubur. Kelompok yang sejak semula menolak damai karena kemenangan sudah di depan mata kecewa berat. Mereka keluar dari barisan Ali. Membentuk kelompok sendiri yang disebut Khawarij. Mereka menilai yang setuju pada perdamaian adalah kafir. Mereka berencana membunuh tokoh-tokonya. Yaitu Ali bin Abi Thalib. Muawiyah bin Abu Sofyan, dan Amr bin Ash. Mereka hanya berhasil membunuh Ali dan gagal membunuh yang lain.
Ali dibunuh ketika hendak menjadi imam shalat Subuh. Sepeninggal Ali maka Muawiyah menjadi khalifah. Dibentuk Dinasti Umayyah. Bentuk negara diubah menjadi semacam kerajaan. Diwariskan kepada anak dan cucunya. Tidak dipilih seperti khalifah-khalifah sebelumnya.
Dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, maka hanya Abu Bakar yang meninggal tidak dibunuh. Tiga khalifah lainnya: Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib meninggal karena terbunuh. Semuanya ketika sedang beribadah. Umar ketika menjadi imam salat Subuh. Utsman ketika sedang membaca al-Quran, murajaah hafalannya. Dan Ali ketika menjadi imam salat Subuh. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni