Batasan Aurat Muslimah di Depan Wanita Non-Muslim; Oleh Ustadzah Ain Nurwindasari.
PWMU.CO – Di antara etika pergaulan dalam Islam adalah adanya kewajiban menutup aurat, yaitu bagian tubuh yang tidak boleh ditampakkan kepada orang lain maupun orang yang tidak seharusnya melihatnya.
Oleh karena itu Islam telah mengatur terhadap siapa saja aurat seorang Muslim maupun Muslimah boleh terlihat dan bagaimana batasannya.
Di antara perintah untuk menutup aurat ialah sebagaimana tercantum di dalam an-Nur ayat 31.
Di awal ayat disebutkan:
وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.”
Awal ayat tersebut menjelaskan perintah menjaga pandangan juga agar wanita menutup aurat mereka. Adapun lanjutan dari an-Nur ayat 31 menjelaskan terkait siapa saja yang boleh melihat aurat muslimah.
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اٰبَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اٰبَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اَخَوٰتِهِنَّ اَوْ نِسَاۤىِٕهِنَّ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُنَّ اَوِ التَّابِعِيْنَ غَيْرِ اُولِى الْاِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ اَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلٰى عَوْرٰتِ النِّسَاۤءِ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan.”
Pada ayat di atas disebutkan di antara golongan yang boleh melihat aurat Muslimah adalah yang disebutkan dengan kata “نِسَاۤىِٕهِنَّ” (wanita sesama mereka).
Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian ‘wanita sesama mereka’. Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud ‘wanita sesama mereka’ adalah wanita sesama Muslim. Jika demikian maka konsekuensinya adalah aurat Muslimah tidak boleh ditampakkan di hadapan wanita non-Muslim.
Pendapat ini banyak diutarakan oleh para mufasir di dalam kitab tafsir mereka. Di antaranya dalam Kitab Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, Jami’ al-Ahkam (karya Imam Al-Qurthubi), Tafsir Al-Muyassar (Aidh Al-Qarni), dan lain-lain.
Ibnu Katsir bahkan memberi alasan ketika menafsirkan ayat ini bahwa tidak bolehnya Muslimah menampakkan auratnya kepada wanita non-muslim karena menghindari jika kemudian aurat Muslimah diceritakan kepada suami mereka (suami wanita non-Muslim).
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah pernah membahas masalah ini. Pandangan Majelis Tarjih dengan melihat pendapat para ulama ialah aurat Muslimah wajib ditutup di hadapan wanita non-Muslim, kecuali dalam keadaan darurat, seperti ketika seorang Muslimah tinggal dalam satu asrama dengan wanita non-Muslim.
“Menurut hemat kami, pada prinsipnya aurat wanita muslim memang tidak boleh dilihat baik oleh wanita muslim maupun non-Muslim. Hal ini dimaksudkan agar tidak timbul fitnah.” (https://tarjih.or.id/aurat-wanita-islam-2/)
“Imam al-Qurtubi (Jâmi Ahkam al-Qur’an; 12:233) mengatakan aurat wanita Muslim tidak boleh dilihat oleh perempuan non-Muslim kecuali oleh ibunya sendiri meski ibunya tersebut seorang kafir/musyrikah. Ibnu Juraij, Ubadah bin Nasa dan Hisyam al-Qari’ membenci seorang Muslimah yang terbuka auratnya ketika menerima tamu seorang wanita Masrani.
Sedangkan Ibnu Abbas berkata: “Haram bagi seorang Muslimah terlihat auratnya oleh wanita-wanita Yahudi atau Nasrani, agar mereka tidak menceritakan (sifat) wanita Muslimah tadi pada suami-suami wanita Yahudi atau Nasrani itu.”
Demikian halnya dengan Umar bin Khatab RA. Ia pernah menulis surat pada Abu Ubaidah yang berisikan larangan wanita muslim bercampur dengan wanita kafir/musyrikah dalam sebuah pemandian (hamam) atau mandi bersama.” (https://tarjih.or.id/aurat-wanita-islam-2/).
Sekalipun demikian, ada pula pendapat yang menyatakan boleh, sebagaimana wanita Muslim boleh menampakkan aurat yang biasa ditampakkan di hadapan sesama Muslimah.
Pendapat mereka yang dimaksud “perempuan sesama mereka” adalah,
جميع النساء المسلمات وغير المسلمات ، والله أعلم
seluruh perempuan, baik Muslimah maupun non-Muslimah. (Fatawa Lajnah Da-imah 17/288)
Dari uraian di atas penulis lebih cenderung kepada pendapat bahwa seorang Muslimah wajib menutup aurat di hadapan wanita non-Muslim.
Wallahu a’lam bish shawab. (*)
Ustadzah Ain Nurwindasari SThI, MIRKH adalah anggota Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Asiyiyah (PDA) Gresik; alumnus Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) PP Muhammadiyah dan International Islamic University of Malaysia (IIUM); guru Al-Islam dan Kemuhammadiyahan SMP Muhammadiyah 12 GKB Gresik.
Editor Mohammad Nurfatoni