Qunut di Masjid Ar-Rohman oleh dr Tjatur Prijambodo MKes, Direktur RS Aisyiyah Siti Fatimah.
PWMU.CO-Tidak seperti biasanya, sejak Senin (6/22/23) malam, Masjid ar-Rohman Magersari Sidoarjo penuh sesak dengan jamaah. Selain jamaah rutin, pada hari itu ada tamu dari Dungkek Sumenep Madura, Solo, dan Lamongan.
Mereka adalah penggembira Resepsi Puncak Harlah Satu Abad NU di GOR Sidoarjo yang digelar Selasa (7/2/2023). Tempat acara GOR Sidoarjo berjarak tidak lebih dari 1 kilometer dari masjid milik PRM Magersari ini.
Ketua Takmir Masjid ar-Rohman, Muhammad Choirul, mengatakan, kebutuhan makan, MCK dan tempat istirahat sudah disiapkan oleh takmir masjid.
”Surat al-Hujurat ayat 10, innamal mu’minuna ikhwatun. Artinya, sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Kami mengambil hikmah semoga di antara perbedaan khilafiyah tidak memutuskan persaudaraan,” tuturnya.
Tak pelak suasana gayeng terlihat di setiap sudut masjid. Bahasa Jawa Solo, bersahutan dengan Jawa Lamongan dan Enggres Timur alias bahasa Madura. Bahasa sama yang berbeda sekali tidak menjadi kendala. Mereka bisa memahami maksudnya dalam berkomunikasi. Terbalut persaudaraan yang sangat kental membuat saling paham.
Tibalah saat shalat Subuh pada Ahad pagi. Jamaah Masjid ar-Rohman di sini tak pakai qunut. Sementara para tamu semuanya pasti shalat Subuhnya pakai qunut. Takmir masjid sudah mendiskusikan masalah ini.
Untuk memberikan rasa nyaman beribadah, sebelum iqomah, salah satu takmir Ustadz Irwan Kusumadi menyampaikan kepada jamaah tamu tentang perbedaan qunut itu.
Dia menjelaskan, imam rawatib di masjid ini kalau shalat Subuh tak pakai qunut. ”Bisa jadi nanti bapak-bapak merasa shalatnya tidak sah. Maka silakan ada yang bersedia menjadi imam Subuh,” katanya. ”Kami bisa menyesuaikan. Bisa tidak ikut qunut tapi tetap bermakmum.”
Akhirnya Ustadz Kaswini, modin Dungkek Sumenep maju menjadi imam Subuh. Shalat berjamaah pun berjalan lancar dan khusyuk. Para jamaah makin merasa menjadi saudara seutuhnya.
Muncul kesadaran di benak tamu ternyata orang Muhammadiyah tidak seperti yang banyak diceritakan di Madura. Suka membid’ahkan. ”Muhammadiyah sama-sama Islamnya dengan NU,” ujar Modin Kaswini.
Teringat anekdot orang Madura. Ketika ditanyakan berapa jumlah penduduk muslim di pulau itu, mereka menjawab, ”Di Madura 90 persen Islam, yang 10 persen Muhammadiyah.”
Editor Sugeng Purwanto