PWMU.CO – Dari Kota Xian kami berpindah ke Kota Xiamen Provinsi Fujian, Kamis (13/4) sore. Xiamen adalah kota pulau yang sangat asri. Sepanjang jalan, kami disuguhi taman-taman kota dengan aneka pepohonan dan bunga. Menurut penuturan Thomas, guide lokal yang memandu kami, Kota Xiamen memang terkenal dengan tamannya. “Tahun 2000 Xiamen mendapat penghargaan sebagai Kota Garden dari PBB dan tahun 2005 dinobatkan sebagai kota paling kayak dihuni,” kata Thomas yang mahir berbahasa Indonesia.
(Baca: Kota Linxia: Mekah Kecil di Negeri Komunis dan Ternyata Ada Jalan ‘KH Mas Mansur’ di Xian Tiongkok, Inilah Foto-Foto Eksklusifnya)
Sebelum ke hotel, kami langsung dibawa ke sebuah masjid yang terletak di deretan pertokoan. Meski di gerbang lantai bawah tertulis masjid dalam huruf Arab, tapi untuk menunaikan shalat Dhuhur-Asar secara jamak qashar, kami harus naik ke lantai 5. Selesai melaksanakan shalat, Adzan Asar berkumandang dari loudspeaker internal masjid.
Setelah itu, seorang lelaki berkulit putih dengan peci putih khas Muslim China naik ke atas. Dia tunaikan shalat. Awalnya, saya kira dia sedang shalat sunah qabliyah. Sendirian dia shalat. Mungkin sambil menunggu jamaah lainnya. Ternyata dugaan saya salah. Dia ternyata salat Asar, sendirian. Usai itu, kami bersalaman. Dia lalu mengajak turun ke lantai 4. Di sanalah kami—ormas Jatim yang terdiri dari MUI, Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, Pengurus Wilayah NU, dan Yayasan Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya—bertemu di sebuah ruangan.
(Baca juga: Masjid Besar Barat Linxia: Tempat Dicetaknya Ulama-Ulama Tiongkok dan Bila Para Lansia Mencari Jodoh Seiman di Masjid Madian Beijing)
Kami mengenalkan diri dengan bantuan terjemahan bahasa Mandarin oleh Liem Ou Jen dari Paguyuban Masyarakat Tionghoa Surabaya yang mengajak kami muhibah ke Tiongkok dengan sponsor pengusaha asal Sidoarjo Heru Budihartono. (Berita terkait: Temuilah Leluhur Muslim sampai ke Negeri China)
Dalam pertemuan itu, Ibrahim, begitu dia mengenalkan diri, masih juga sendirian. Ini berbeda dengan pertemuan kami dengan Shaanxi Islamic Assosiation sebelumnya di kota Xian, yang melibatkan beberapa pengurus.
(Baca juga: Ketika Ada Dua Arah Kiblat Shalat di Bandara Internasional Beijing dan Tanpa Babi di Nui Jie, Jalan Sapi Beijing)
Tapi kesendirian itu justru menjadi fakta tentang Islam di Xiamen. Menurut Ibrahim, di Kota Xiamen hanya ada 500 Muslim. Angka itu berarti 0.025 persen dari 2 juta jumlah keseluruhan penduduk Kota Xiamen, atau 4 juta penduduk Provinsi Fujian (menurut Thomas, jumlah 2 atau 4 juta itu, separohnya adalah pendatang).
Ibrahim menjelaskan, Masjid Xiamen baru ramai ketika musim liburan sekolah. “Saat libur, anak-anak Muslim belajar tentang agama Islam di masjid ini,” katanya. Minimnya jumlah umat Islam di Xiamen ini pula yang membuat pemerintah China menunda pembangunan Masjid Xiamen. “Padahal tanah seluas setengah hektar lebih dan dana telah siap,” katanya.
(Baca juga: Kisah Laksamana Cheng Hoo Ajak Ulama Xian Berlayar ke Mekah dan Nusantara dan Shalat Dhuhur Berjamaah dengan Suhu 3 Derajat Celcius di Lianxia Tiongkok)
Kondisi Muslim yang juga minim terdapat pula di Kota Guanzhou, kota lain di Provinsi Fujian yang berada di China Daratan. Saat kami melaksanakan shalat Jumat (14/4), yang menjadi muadzin (pertama), pembaca Quran, ceramah sebelum khutbah, serta khutbah dan imam dirangkap oleh satu orang saja. Beda sekali dengan di Masjid Niu Jie Beijing yang melibatkan 7 imam. Baca : Pengalaman Terkecoh Mengikuti Jumatan Unik di Masjid Niu Jie Beijing Tiongkok)
Sang Imam yang ternyata juga bernama Ibrahim dan sangat fasih dalam bacaan Quran-nya itu mengatakan bahwa umat Islam di sekitar masjid itu cuma 20 orang. Sementara jamaah yang memadati Jumatan—saya lihat penuh dan sampai 7 shaf dan mayoritas anak muda—kebanyakan adalah pendatang, yaitu karyawan dan mahasiswa, termasuk Rebki, mahasiswa Universitas Guanzhou asal Mojokerto Indonesia.
Pernyataan Ibrahim dibenarkan oleh Rebki yang sedang menempuh studi S1 di tahun keempat itu. Bahkan, dari 6 masjid yang ada di Guanzhou, 1 sudah beralih fungsi. Tapi Rebki menolak membeberkan secara lebih jauh alih fungsi yang dimaksud. Menurutnya, salah satu yang menghambat pertumbuhan Muslim di Guanzhou adalah beberapa keturunan muslim yang sekadar Islam KTP. “Mereka tidak shalat, tapi juga tidak mau makan daging babi,” kata pria yang bercita-cita menjadi pengusaha usai lulus Jurusan Ekonomi di Universitas Guanzhou.
Melihat kenyataan seperti itu Ketua MUI Jatim KH Abdussomad Buchori merasa prihatin. Dia mempertanyakan bagaimana peran China Islamic Assosiation atau MUI-nya Tiongkok. Kepada PWMU.CO, dia akan memberi rekomendasi pada Konsulat Jenderal Tiongkok di Surabaya agar memberi perhatian lebih pada Muslim Xiamen dan Guanzhou.
(Baca juga: Fenomena Beijing: Stadion pun Mampu Memikat Wisatawan dan Membayangkan Telaga Sarangan seperti Yi He Yuan di Tiongkok)
Soal itu, sebenarnya pemerintah China bisa dikatakan memberi perhatian. Seperti dikatakan Rebki, bahwa Imam Masjid Shahabah Guanzhou telah digaji oleh pemerintah. Anak-anaknya pun dapat subsidi pendidikan. Hanya saja, isu terorisme global sempat membuat kegiatan di Masjid Shahabah ditutup beberapa tahun. “Sejak tahun 2010 masjid kami ditutup. Baru dibuka kembali pada tahun 2013,” kata Ibrahim dalam bahasa Mandarin yang diterjemahkan Rebki.
Masjid Shahabah sendiri terdiri dari 3 bagian. Yang sekarang dipakai merupakan bangunan baru yang dibantu pembangunannya oleh pemerintah Oman. Sementara masjid sebelumnya yang lebih kecil dan tua sudah tidak berfungsi. Satu lagi bangunan masjid yang pertama didirikan, sudah menjadi museum. Hanya tersisa beberapa pilar dan tembok klasik. (Nurfatoni)