Di Balik Nama Ramadhan; Kajian oleh Dr Syamsudin MAg, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
PWMU.CO – Masyarakat Yunani kuno adalah masyarakat pagan. Mereka memuja para dewa. Mereka memberi nama hari sesuai dengan jadwal penyembahan kepada para dewa. Hari untuk menyembah dewa matahari diberi nama Sunday. Hari untuk menyembah dewa rembulan diberi nama Monday. Hari untuk menyembah dewa Saturnus diberi nama Saturday.
Berbeda dengan masyarakat Arab. Mereka memberi nama bulan sesuai dengan keadaan cuaca di padang sahara. Untuk musim semi di mana kehidupan terasa nyaman, diberi nama Rabi’, yang secara harfiah bermakna musim bunga. Muncullah nama Rabi’ al-Awal dan Rabi’ ats-Tsani.
Untuk musim dingin di mana kehidupan terasa beku, diberi nama Jumada. Dari kata jamad yang secara harfiah bermakna beku. Muncullah nama Jumada al-Ula, dan Jumada ats-Tsaniah. Saat sahara dalam keadaan panas membara, mereka beri nama Ramadhan. Dari kata ar-ramdhu, yang bermakna sangat panas.
Dari sinilah asal usul nama bulan Ramadhan, yang dalam bahasa Arab diklasifikasikan sebagai isim ghair munsharif atau kata benda yang tidak bisa diberi awalan alif-lam. Motivasi di balik pemberian nama ini, bisa jadi karena terbakarnya lemak dalam tubuh, sebab cuaca panas yang memaksa orang bertahan dalam lapar dan dahaga. Bisa juga karena melelehnya dosa-dosa manusia sebab puasa yang dilakukannya, (Ruhul Bayan, I/292).
Dalam tafsir al-Qurtubi ada penjelasan bahwa Ramadhan berasal darai kata ramadhtu an-nasla (aku menajamkan ujung anak panah). Itulah kebiasaan masyarakat Arab era jahiliah, di mana mereka menajamkan senjata-senjata mereka pada bulan itu untuk persiapan perang pada bulan Syawal. Al-Qurtubi juga menengahkan riwayat dari Mujahid, yang mengatakan bahwa Ramadhan adalah satu nama di antara nama-nama Allah. Berdasarkan hadis Nabi
لا تقولوا هذا رمضان، ولا ذهب رمضان، ولا جاء رمضان، فإن رمضان اسم من أسماء الله عزَّ وجل، ولكن قولوا شهر رمضان
Jangankah kalian berkata ini adalah Ramadha atau Ramadhan telah lewat, atau Ramadhan telah datang. Sebab sesungguhnya Ramadhan adalah nama di antara nama-nama Allah azza wa jalla. Akan tetapi ucapkanlah Bulan Ramadhan.
Namun riwayat ini disepakati sebagai riwayat yang palsu. Dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama Abi Ma’syar Najih, ia diidentifikasi sebagai tukang dusta. Dengan demikian keberadaan Ramadhan sebagai satu nama di antara nama-nama Allah yang indah, sepakat dinafikan.
Di Balik Nama Ramadhan
Sebagian besar ulama mengaitkan bulan Ramadhan dengan dileburnya dosa-dosa. Mengingat adanya sejumlah riwayat shahih tentang bulan puasa sebagai bulan peleburan dosa. Di antaranya adalah hadits populer yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:
مَن صَامَ رَمَضَانَ، إيمَانًا واحْتِسَابًا، غُفِرَ له ما تَقَدَّمَ مِن ذَنْبِ
Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan atas dasar iman dan semata-mata mengharap ridha Allah, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lewat, (HR al-Bukhari, Nomor 2014)
Alwi bin Abdul Qadir assegaf, dalam www.dorar.net, menjelaskan: Dalam hadis ini terdapat informasi keagamaan yang agung ari Nabi kita Muhammad SAW, untuk orang yang diberi kekuatan melaksanakan puasa Ramadhan secara sempurna. Puasa adalah menahan diri dari makan, minum, hubungan intim dengan istri, dan pembatal-pembatal lainnya, dengan niat semata-mata mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub), sejak dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Makna imaanan wa ihtisaban, ialah meyakini kebenaran perintah, mengakui wajibnya, takut adzab manakala meninggalkannya, dan mengharap pahala dari-Nya. Inilah karakter Mukmin sejati. Yaitu mengharap ampunan dari Allah atas semua dosa yang telah lewat. Adapun kaitannya dengan hak adamiy, semacam tidak melunasi utang sesuai janjinya, pengemplangan harta dan lain sebagainya, maka harus melunasi atau minta kerelaan dari pemilik hak.
Jika ada pertanyaan, bukankah ampunan Allah didapatkan nanti pada hari kiamat. Kenapa kata kerja yang digunakan dalam redaksi hadits adalah kata kerja lampau (fi’il madhi) yaitu ghufira. Maka jawabannya, dalam redaksi yang menggunakan fi’il madhi tersebut ada petunjuk, bahwa ampunan Allah itu pasti adanya tanpa diragukan sedikitpun.
Itulah kemurahan Allah kepada hamba-hambaNya. Pada intinya, puasa ramadhon adalah kewajiban agama yang harus dikerjakan, dan Allah SWT menjanjikan pahala agung bagi yang melaksanakan perintah dengan sebaik-baiknya. Innallaha thayyib laa yaqbalu illa thayyib. Sesungguhnya Allah SWT, Maha indah. Ia tidak menerima persembahan dari hamba-Nya kecuali yang indah. Wallahu a’lam. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni