PWMU.CO– WHO atau Organisasi Kesehatan Dunia resmi menyatakan Covid-19 tidak lagi merupakan darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional pada 5 Mei 2023.
Deklarasi itu bersamaan dengan masih merebaknya sub-varian baru Omicron XBB 1.16 di beberapa negara, termasuk di Indonesia. Apakah kondisi dunia sudah aman dari Covid-19?
Berikut wawancara secara daring dengan Prof Dr Maksum Radji M.Biomed. Apt dari Prodi Farmasi Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Universitas Esa Unggul, Jakarta. Wawancara oleh Isrotul Sukma, kontributor Bangkalan, Rabu (10/5/2023).
Prof Maksum juga Ketua Dewan Pembina Pondok Babussalam Socah, Bangkalan.
Apa arti WHO mencabut status darurat Covid-19?
Kita patut bersyukur status kedaruratan kesehatan wabah Covid-19 secara resmi telah dicabut oleh WHO. Kita perlu mensyukuri akhir dari fase darurat ini, mengingat hampir 7 juta jiwa hilang akibat wabah Covid-19 sejak tahun 2020.
Walaupun demikian kita tetap mempertimbangkan bagi sebagian orang, terutama mereka yang rentan secara klinis, keadaan darurat belum berakhir sepenuhnya.
Meski bukan lagi merupakan status darurat kesehatan bagi masyarakat di seluruh dunia, namun Covid-19 masih perlu diwaspadai karena menurut data yang dilansir dari https://www.worldometers.info/coronavirus/weekly-trends/#weekly_table, wabah Covid-19 masih menimbulkan jutaan infeksi dan ribuan kematian setiap minggunya di seluruh dunia.
Demikian juga akibat Covid-19, masih menyisakan puluhan juta orang membutuhkan perawatan jangka panjang di dunia.
Deklarasi WHO bukan menyatakan wabah Covid-19 telah berakhir atau hilang, namun hanya menurunkan status fase kedaruratan kesehatan masyarakat secara global. Kondisi yang sekarang telah kita hadapi kemungkinannya tidak berubah terlalu drastis dalam kesehatan masyarakat di negara-negara tertentu.
Covid-19 masih akan tetap ada, walaupun statusnya bukan lagi merupakan suatu pandemi dan berubah menjadi fase epidemic. Masing-masing negara memiliki kewenangan untuk menentukan apakah masih akan memperlakukan Covid-19 sebagai keadaan darurat nasional di wilayah mereka, termasuk di Indonesia. Indonesia sendiri mulai ada pelonggaran tertentu dalam menyikapi perkembangannya.
Mengapa WHO mencabut status darurat Covid-19?
Status darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional terhadap Covid-19 ini pertama kali dibuat oleh WHO pada 30 Januari 2020 yang lalu. Hingga saat ini Covid-19 masih merupakan wabah yang perlu tetap diwaspadai karena selain menyebabkan kematian juga virus SARS-Cov-2 terus bermutasi. Risiko munculnya varian baru juga tinggi dan varian baru ataupun sub-varian baru masih dapat menyebabkan lonjakan kasus dan dapat menyebabkan kematian.
Sudah barang tentu keputusan WHO mencabut darurat kesehatan masyarakat secara global terhadap Covid-19 tidak diambil secara sembarangan. Dasar pertimbangan WHO antara lain selama setahun terakhir, Komite Darurat yang dipimpin WHO telah mengamati dengan cermat tren penurunan kasus kematian harian atau mingguan di seluruh dunia secara signifikan, termasuk di Indonesia.
Selain itu dengan peningkatan cakupan vaksinasi Covid-19 di seluruh dunia sudah cukup tinggi. Tingginya tingkat kekebalan populasi (herd immunity) masyarakat terhadap infeksi virus SARS-Cov-2 sangat efektif mencegah penularan infeksi, juga mampu menurunkan tingkat keparahan penyakitnya.
Demikian pula beban sistem pelayanan kesehatan yang dulunya kewalahan, kini telah berkurang. Itulah sebagian dari dasar pertimbangan WHO dalam menurunkan kewaspadaan global terhadap wabah pandemi Covid-19, menuju manajemen epidemi Covid-19 jangka panjang.
Kini apa yang perlu dilakukan pemerintah?
Pencabutan status darurat global Covid-19 ini menegaskan kondisi penularan di dunia dapat dikendalikan dengan baik. Kondisi tersebut mengindikasikan bagi negara di dunia untuk menyiapkan transisi kondisi kehidupan dari masa pandemi ke fase endemi. Artinya masyarakat global harus bisa hidup berdampingan dengan Covid-19. Karena wabah belum sepenuhnya dinyatakan usai atau hilang dari muka bumi. Upaya pencegahan dan penanggulangannya perlu diintegrasikan dalam upaya pengendalian dalam program-program rutin lainnya guna meningkatkan kesehatan masyarakat yang sudah ada selama ini.
WHO telah merekomendasikan antara lain menganjurkan meningkatkan kapasitas kesehatan nasional menghadapi ancaman mendatang; meningkatkan aktivitas surveilans terhadap kasus-kasus Covid-19, termasuk pemeriksaan genome sequencing terhadap virus Covid-19 yang beredar di kawasan tertentu termasuk di Indonesia. Hal ini penting untuk mengetahui adanya varian baru yang sedang merebak di kawasan negara tertentu.
Anjuran WHO terus meningkatkan kesiapan infrastruktur pelayanan kesehatan yang dapat menjangkau masyarakat luas. Ini langkah antisipasi jika di suatu saat terjadi kembali kenaikan kasus di suatu kawasan akibat munculnya varian baru. Artinya kita perlu belajar dari kegamangan dan lemahnya fasilitas kesehatan ketika kita menghadapi ledakan wabah pandemi Covid-19, dengan mulai membangun kesehatan masyarakat yang lebih tangguh dalam persiapan menghadapi dan mengantisipasi kemungkinan munculnya kasus pandemi baru.
Program yang penting lainnya adalah kesiapan dalam program vaksinasi. Seluruh pemangku kepentingan termasuk masyarakat perlu bekerja sama menyukseskan program vaksinasi, guna melindungi seluruh masyarakat dan kelompok orang yang rentan dari wabah penyakit menular termasuk Covid-19.
Pencabutan status darurat kesehatan Covid-19 secara global ini, maka diperlukan kebijakan pemerintah guna mengintegrasikan program vaksinasi Covid-19 dalam program vaksinasi nasional, serta mendukung penelitian guna peningkatan kapasitas vaksin.
Sub-varian baru Arcturus apakah berbahaya?
Arcturus merupakan sub-varian baru Omicron XBB.1.16. Pertama kali dilaporkan di India pada 23 Januari 2023. Kini sub-varian baru ini telah teridentifikasi di lebih dari 31 negara, termasuk Malaysia, Singapura, Thailand, Australia, Brunei Darussalam, dan Indonesia.
Berdasarkan analisis full genome sequencing, sub-varian baru virus penyebab Covid-19 ini adalah gabungan antara sub-varian BA.2.10.1 dan BA.2.75 dengan tiga mutasi pada gen spike protein (S)-nya, yaitu E180V, F486P, dan K478R.
Mutasi pada K478R membuat virus Arcturus lebih kebal terhadap antibodi dalam tubuh seseorang yang telah terinfeksi Covid-19 sebelumnya. Mutasi gen S menyebabkan virus Arcturus lebih cepat menyebar serta menyebabkan infeksi.
WHO telah meningkatkan status Arcturus ini dari variant under monitoring (VuM) menjadi variant of interest (VoI). Peningkatan status ini dilakukan karena kecepatan penularan varian Arcturus yang lebih tinggi daripada sub-varian Omicron lainnya, sehingga akhir-akhir ini memicu kenaikan kasus Covid-19 di beberapa negara.
Berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh WHO sub-varian SARS-Cov-2 XBB.1.16 atau Arcturus ini memiliki angka reproduktif berkisar antara 1.17 – 1.27 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan sub-varian XBB.1 dan XBB.1.5, sehingga sub-varian Omicron terbaru ini menunjukkan kemampuan untuk menyebar dengan lebih cepat. Arcturus juga berpotensi dapat menghindari sistem kekebalan lebih tinggi daripada sub-varian Omicron.
Ciri utama infeksi Arcturus gejalanya infeksinya sama seperti varian virus corona lainnya, tapi Arcturus dapat menyebabkan konjungtivitis atau mata merah. Konjungtivitis ini muncul lebih banyak jika menginfeksi anak-anak.
Konjungtivitis merupakan pembengkakan pada konjungtiva, yaitu selaput tipis yang terletak di permukaan bagian mata. Ketika seseorang mengalami konjungtivitis, pembuluh darah di konjungtiva meradang, menyebabkan warna merah.
Walaupun virus Arcturus ini belum dilaporkan dapat menyebabkan tingkat keparahan dan tingkat kematian yang tinggi, harus tetap diwaspadai bagi beberapa kelompok yang berisiko lebih tinggi terinfeksi virus SARS-CoV-2 sub-varian Arcturus ini.
Yaitu pertama, orang dengan penyakit penyerta atau komorbid. Tingkat keparahan Covid-19 selama ini umumnya terjadi pada orang-orang yang rentan yang memiliki penyakit bawaan atau komorbid, seperti tekanan darah tinggi, jantung, diabetes, dan gangguan pernapasan. Kedua, orang yang belum menerima vaksinasi. Dalam berbagai studi terbukti kelompok yang tidak memperoleh vaksin Covid-19 pada umumnya mengalami gejala yang lebih parah dan berisiko mengalami komplikasi serius, dan risiko dirawat secara intensif di rumah sakit.
Persentase kematian lebih banyak oleh kelompok orang yang belum divaksinasi. Oleh sebab itu, penting sekali bagi masyarakat segera mendapatkan vaksin dosis primer dan booster.
Ketiga, Lansia lebih rentan terhadap Covid-19 karena imunitas tubuh umumnya menurun seiring bertambahnya usia. Juga ada memiliki penyakit kronis, seperti diabetes, jantung, dan stroke yang cenderung meningkatkan risiko keparahan terinfeksi virus SARS-Cov-2.
Oleh sebab itu tetap perlu menerapkan protokol kesehatan, dan segera mendapatkan vaksin primer maupun booster guna mencegah penularan dan mengurangi keparahan penyakit. Virus ini mungkin sulit hilang dan akan terus bermutasi. Itu berarti kita harus tetap menjaga diri.
Editor Sugeng Purwanto