PWMU.CO – Sastrawan legendaris Indonesia, Taufiq Ismail mengaku miris dengan terus menurunnya tradisi literasi di kalangan pelajar Indonesia. Pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat ini pun mengeluarkan ‘unek-uneknya’ seputar menurunnya dunia literasi di Indonesia, khususnya tentang literasi sastra.
Taufiq pun menceritakan pengalamannya waktu masih muda. Saat itu, dirinya dan siswa SMA sederajat lainnya diwajibkan bisa menamatkan 25 judul buku dan membuat 108 karangan selama tiga tahun masa sekolah. Sedangkan kebiijakan terbaru, sebut Taufiq pelajar SD diwajibkan hanya menamatkan 3 judul buku sastra, SMP 6 judul buku, dan SMA 15 judul buku selama masa sekolah.
(Baca: Ratusan Mahasiswa Elektro UMM Kantongi Sertifikat Profesi Tingkat ASEAN)
”Dalam realitanya itu semua jauh dari yang diharapkan. Tidak satu pun buku sastra yang ditamatkan oleh siswa selama masa sekolah. Ini menyedihkan sekali,” Taufiq menyampaikan kritiknya saat diundang dalam Gazebo Forum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) di Perpustakaan UMM, Sabtu (29/4) kemarin.
Mirisnya lagi, lanjut Taufiq paradigma pendidikan yang berkembang saat ini malah mengarahkan pelajar untuk gandrung pada media sosial (medsos) ketimbang membaca buku-buku sastra. Taufik mengungkapkan sudah separuh abad Indonesia menderita akibat miskin membaca. ”Bangsa Indonesia sudah menjadi bangsa yang rugi karena mengalami penurunan yang jauh dalam hal literasi, khususnya literasi sastra,” tegasnya.
Taufiq mengaskan kembali bahwa melalui sastra manusia tak hanya belajar untuk menuliskan untaian kata-kata, tapi juga pengungkapan isi pikiran. Pikiran akan terbarukan dengan menulis dan membaca karya sastra dan puisi, misalnya. Karena puisi sarat akan nilai-nilai moral, intelegensi, dan estetika. Puisi masuk dalam tiap ruang kehidupan. ”Definisi, sejarah, dan teori sastra itu bukan yang utama, tapi minat membaca dan nilai yang didapatnya itu yang utama,” papar Taufiq.
(Baca juga: Mahasiswa UMM Pamer Aneka Bisnis Inovatif)
Pelajar, sebut Taufiq sudah semestinya bisa mengembalikan budaya literasi melalui transformasi literasi. ”Mulailah membaca dan menulis sastra dengan kebiasaan menulis buku harian. Ini akan memupuk semangat menulis. Membaca, membaca, membaca. mengarang, mengarang, mengarang,” pesan Taufiq kepada para pelajar Indonesia.
Di akhir paparannya, sastrawan bergelar Datuk Panji Alam Khalifatullah ini memberi apresiasi pada Gazebo Forum UMM karena mampu menghadirkan wahana bagi penguatan literasi di Indonesia.
Di kesempatan yang berbeda, Dr Arif Budi Wurianto selaku narasumber kedua mengisahkan tentang Kartini yang pada zamannya ‘dipingit’. Kakak kandung Kartini, Sosrokartono miris melihat adiknya tak bisa mengenyam pendidikan seperti dirinya akibat terbelenggu budaya yang mengimani bahwa perempuan harus ‘dipingit’ sampai menikah. ”Tubuhmu boleh dipingit, tapi yang bebas adalah pikiranmu. Bebaskan pikiranmu dengan membaca,” pesan Sosrokartono pada Kartini yang disampaikan Arif Budi di hadapan ratusan siswa SMA se-Malang Raya.
(Baca ini juga: Pertahankan Kampus Terunggul untuk Kali ke-9, UMM Fokus Hilirisasi Hasil Riset)
Sastra di mata Kepala Unit Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) adalah sebuah gejala kebudayaan. ”Berbicara budaya berarti berbicara nilai humanisme dan pengharkatan manusia. Melalui aktivitas membaca dan menulis sastra, manusia akan terhalau untuk menjadi insan bermartabat. Menulis sastra adalah peluang mengekspresikan diri tanpa tekanan,” terangnya.
Kegiatan yang diadakan oleh oleh Humas UMM bersama dengan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia UMM ini tidak lain dalam rangka memperingati Hari Puisi Nasional yang jatuh pada tanggal 28 April ini.Selain menghadirkan penyair Taufiq Ismail, acara juga diisi dengan lomba cipta puisi dan baca 1000 puisi yang diikuti oleh siswa SMA sederajat se-Jawa Timur.(hum/aan)