Musyawarah Rakyat di luar MPR oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, pendiri Rosyid College of Arts.
PWMU.CO– Musyawarah Rakyat puncak yang digelar di Istora Senayan Jakarta pada Ahad, 14 Mei 2023 yang lalu oleh para relawan Jokowi perlu dicermati.
Dikatakan pertama oleh Jokowi dengan sangat bersemangat bahwa rangkaian Musra sebanyak 29 kali di seluruh Indonesia sejak Mei 2022 di Bandung dimaksudkan untuk merawat demokrasi akar rumput, bukan demokrasi elitis.
Kedua, Republik ini memerlukan kepemimpinan yang kuat untuk memastikan bonus demografi hingga 13 tahun ke depan menjadi peluang emas membawa Indonesia menjadi negara maju, bukan terjebak menjadi negara berkembang melulu.
Ketiga, kepemimpinan yang kuat itu harus keluar dari rutinitas istana dan berani bekerja dengan strategi baru untuk melakukan segala bentuk hilirisasi berbagai sumberdaya alam untuk menciptakan lapangan kerja dan sumber pajak bagi negara.
Semua bentuk tekanan internasional yang menentang hilirisasi ini harus mampu dilawan oleh kepemimpinan baru yang telah dirintis oleh Jokowi selama ini.
Saya perlu memberi beberapa catatan atas Musyawarah Rakyat yang ternyata adalah musyawarah para Relawan Jokowi. Pertama, ini jelas bukan musyawarah rakyat, tapi musyawarah jalanan sekaligus sektarian.
Merawat demokrasi seharusnya menerima perbedaan aspirasi politik. Rakyat Republik ini pasti bukan hanya para pendukung Jokowi saja. Mengatakan hanya relawan pendukung Jokowi yang layak mewakili rakyat adalah pendakuan yang menyesatkan. Kita lihat apakah dalam waktu dekat berbagai kumpulan masa pendukung Anies, Ganjar, dan Prabowo boleh melakukan kegiatan yang disebut Musra juga.
Kedua, bagaimana memastikan bonus demografi menjadi berkah demografi bagi bangsa ini tidak banyak dijelaskan Jokowi kecuali syarat bahwa bangsa sebesar 280 juta ini perlu dipimpin oleh satu presiden atau segelintir elite yang tahu potensi bangsa dan negara ini, dan tahu strateginya, serta tahu memanfaatkan peluang.
Ini tentu bertentangan dengan demokrasi akar rumput yang diserukan terlebih dahulu karena akhirnya harus diserahkan nasib bangsa ini pada seorang presiden atau sekelompok oligarki politik ekonomi. Ini berarti Jokowi memang tidak menghendaki perubahan mendasar atas sikap dan kebijakan politiknya selama ini yang oleh dirinya dinilai benar dan berhasil.
Secara implisit Jokowi mengatakan monopoli partai-partai politik dalam jagad politik nasional yang dimungkinkan oleh UUD2003 adalah jalan yang benar, dan puncak kebenaran itu dibuktikan oleh kepemimpinannya selama hampir 10 tahun ini.
Ketiga, hilirisasi sumberdaya alam tentu kebijakan yang benar, namun dikatakan Jokowi bahwa bekerja sama dengan siapapun boleh dilakukan bahkan dengan swasta asing. Namun dalam praktik, hilirisasi ini justru makin memusatkan penguasaan kekayaan alam pada sekelompok taipan domestik maupun asing yang karena kedekatannya dengan parpol penguasa dengan mudah memanipulasi pajak dan melakukan pencucian uang.
Di sinilah keterpelesetan Jokowi terjadi. Ketimpangan kekayaan makin melebar dengan Rasio Ginie di sekitar 0.4, kesenjangan spasial antara Jawa dan Luar Jawa bertahan buruk, dan kemiskinan tetap persisten di atas 10%, angka gizi buruk dan stunting masih di atas 20%. Bahkan menurut Bank Dunia, angka kemiskinan kita mencapai 40 %.
Keempat, pembangunan dalam pikiran Jokowi ternyata masih dipenuhi dengan pencapaian material belaka. Demokrasi akar rumput yang dipujanya ditafsirkan secara sempit sehingga kepemimpinan kuat yang diresepkannya telah membunuh aspirasi yang berbeda, penangkapan para aktivis, kriminalisasi ulama, dan penggunaan polisi untuk menghancurkan kebebasan sipil.
Nyaris seperti Soekarno dan Soeharto saat dulu berkuasa, bahkan lebih buruk. Padahal membangun bukan cuma soal peningkatan konsumsi migas, semen, dan baja dalam proyek infrastruktur, tetapi seharusnya menjadi fasilitasi perluasan kemerdekaan dan kebebasan yang menguatkan kedaulatan rakyat -bukan kedaulatan partai politik dan oligarki-, yang mempersatukan bangsa yang majemuk ini -bukan membelah bangsa ini menjadi kaum cebong dan kampret serta kadrun- dan yang membawa keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia -bukan hanya untuk segelintir orang dan di Jawa saja-.
Terakhir, secara simbolik, Musyawarah Rakyat yang diselenggarakan oleh para relawan Jokowi yang dihadiri oleh jajaran Wantimpres, adalah bukti penggusuran Majelis Permusyawaratan Rakyat yang anggotanya dipilih oleh rakyat melalui Pemilihan Umum.
DPR dan DPD dianggap hanya mewakili elite yang berkumpul di partai politik. Benar bahwa Pemilu terbukti hanya menjadikan rakyat pemilih menjadi jongos politik setelah menjadi jongos ekonomi, dan presiden hanya petugas partai politik -bukan mandataris MPR.
Namun Musra Relawan Jokowi ini bisa memperburuk jagad politik yang makin pengap tanpa etika karena aksi massa stadion dijadikan institusi politik dan pranata politik liar oleh presiden yang sedang berkuasa serta segelintir orang di sekelilingnya untuk tetap berkuasa.
Jatingaleh, Semarang 16 Mei 2023
Editor Sugeng Purwanto