Begini Tafsir Surat Al-Kautsar dalam Gerakan Perempuan Mengaji; Liputan Ain Nurwindasari
PWMU.CO – Majelis Tabligh dan Ketarjihan (MTK) Pimpinan Wilayah Aisyiyah (PWA) Jawa Timur menyelenggarakan Gerakan Perempuan Mengaji (GPM) secara daring, Sabtu (3/6/2023). Acara ini diikuti oleh Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (PDA) se-Jawa Timur.
GPM perdana yang diselenggarakan MTK PWA Jatim yang mengangkat tema Ibadah Kurban Membentuk Karakter Ta’awun ini mengundang pemateri Dr Syamsudin MAg—Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Bidang Tarjih dan Tajdid, Kepesantrenan, Haji-Umrah.
Syamsudin mengawali kajiannya dengan menyebutkan pandangan seorang ulama tafsir yaitu Syaikh Asy-Sya’rawi yang mengatakan bahwa surat Al-Kautsar merupakan kelanjutan dari Surat Al-Ma’un. Di dalam surat Al-Ma’un Allah memberikan kritik yang keras kepada orang yang memiliki sifat buruk yang seharusnya dijauhi oleh semua manusia yaitu riya’ dan kikir.
“Pertama yaitu sifat orang yang beribadah untuk mendapatkan puja-puji manusia. Kedua yaitu kikir dimana seseorang tidak mau berbagi atas nikmat yang diberikan oleh Allah kepada dirinya,” terangnya.
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya ini lantas membacakan al-Ma’un.
أَرَءَيۡتَ ٱلَّذِي يُكَذِّبُ بِٱلدِّينِ ١ فَذَٰلِكَ ٱلَّذِي يَدُعُّ ٱلۡيَتِيمَ ٢ وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ ٱلۡمِسۡكِينِ ٣ فَوَيۡلٞ لِّلۡمُصَلِّينَ ٤ ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ ٥ ٱلَّذِينَ هُمۡ يُرَآءُونَ ٦ وَيَمۡنَعُونَ ٱلۡمَاعُونَ
Ia lantas berkomentar, “Bersyukurlah Allah menggunakan kata-kata ‘an sholaatihim bukan fii sholaatihim. ‘an sholaatihim itu adalah untuk orang-orang yang berada di luar sholat, yaitu orang-orang munafik. Jadi fa waylullil mushallin itu tertuju kepada orang-orang munafik,” tegasnya.
Menurut anggota komisi Fatwa MUI Jawa Timur tersebut, Seandainya bunyi ayatnya fii shalaatihim maka seluruh orang beriman yang melaksanakan shalat juga akan terkena ayat itu.
“Orang munafik dinarasikan sebagai orang-orang yang melaksanakan sholat,” terangnya.
Beliau lantas menukil an-nisa ayat 142.
وَإِذَا قَامُوٓاْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُواْ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلٗا
“Mereka melaksanakan shalat hanya saja shalatnya itu dengan tujuan supaya dilihat dan dipuji sesama manusia,” terangnya.
Syamsudin juga menjelaskan ayat terakhir dari surat Al-Ma’un dimana di dalamnya mengandung kalimat ‘Wa yamna’uunal maa’uun,’ yang memiliki arti mencegah memberikan barang-barang yang bermanfaat kepada manusia.
“Harta itu bisa berupa materi bisa juga nonmateri. Ilmu itu juga harta tapi non materi. Memberi ilmu itu terasa ringan, karena tidak ada yang berpindah tangan. Tapi kalau memberikan materi, itu terasa berat karena ada yang berpindah tangan yang sebelumnya milik kita kepada orang lain,” jelasnya.
Tafsir Surat Al-Kautsar
Terkait surat al-Kautsar, Syamsudin mencoba mengupas mulai dari ayat pertama.
إِنَّآ أَعۡطَيۡنَٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ
Sesungguhnya aku telah memberikan kepadamu kebaikan yang banyak.
“Anugerah yang diberikan kepada umat Nabi Muhammad itu sangat banyak yang tidak diberikan kepada umat yang lain,” terangnya.
Ia menjelaskan jika ada kalimat dalam bahasa Arab dengan subjek didahulukan dari pada predikatnya maka ada sesuatu yang penting yang didahulukan tersebut.
“Al-kautsar menurut para ulama adalah al-khaira al-katsira wal aktsara, sesuatu yang baik yang banyak dan lebih banyak lagi dan lebih banyak lagi. Di antaranya adalah iman, tauhid, nubuwwah, juga menjadikan nama Muhammad sebagai bentuk qurbah mana kala disebut oleh umatnya,” paparnya.
Ia pun menjelaskan bahwa yang dimaksud qurbah adalah pendekatan diri kepada Allah apabila disebut namanya. Dalam hal ini menyebut nama Nabi Muhammad dalam rangka qurbah disebut shalawat.
“Al-kautsar juga diartikan nama sebuah telaga di surga nanti menurut riwayat yang dapat dipertanggung jawabkan,” imbuhnya.
Syamsudin lantas menjelaskan makna ayat kedua, fashalli lirabbika, maka shalatlah kamu Muhammad hanya semata-mata untuk Tuhanmu.
“Jangan shalat sebagaimana orang-orang munafikin, yang melakukan karena riya’ kepada manusia. Kedua, wanhar, dan sembelihlah,” terangnya.
Ia lantas menjelaskan perbedaan makna menyembelih dengan menggunakan kata nahara yanharu dan menyembelih dengan kata dzabaha yadzbahu.
“Tapi ada perbedaan. Kalau dzabaha itu menyembelih secara umum. Menyembelih ayam, kambing, sapi, kerbau itu dzabaha. Tapi nahara yanharu itu khusus menyembelih unta. Karena menyembelih unta itu secara berdiri, bukan ditidurkan posisinya,” terangnya.
Ia menuturkan bahwa unta merupakan harta paling berharga di bangsa Arab.
“Kakek Nabi punya 1000 unta. Ketika pasukan Abrahah mau menyerang Ka’bah, Abdul Muthalib ini bernegosiasi dengan mengatakan ‘Jika kamu datang ingin mengambil kekayaan maka ambillah 1000 unta yang ada di sana, itu milikku. Namun kalau kamu ingin merusak Ka’bah maka hati-hatilah, karena Ka’bah itu ada pemeliharanya (Allah),’” ungkapnya.
Selanjutnya ia mencoba menjelaskan ayat terakhir, nnasyaaniaka huwal abtarr. Ia mengutip pendapat penulis tafsir asy-Sya’rawi bahwa hal itu menunjukkan ukuran kehormatan bumi dan ukuran kehormatan langit.
“Local wisdom orang Arab sebelum Islam, orang itu disebut baik kalau dia punya anak laki-laki. Jika dia tidak punya anak laki-laki disebut rajulun abtar, tidak punya keturunan. Ketika Nabi memiliki anak perempuan maka orang-orang mengatakan lihatlah Muhammad, dia rajulun abtar,” terangnya.
Ia juga menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah memiliki anak laki-laki yang bernama Qasim, namun meninggal ketika bayi, sehingga Nabi pernah disebut sebagai Abul Qasim.
“Maka ada mi’yar, ukuran langit, bahwa kehormatan manusia bukan karena anaknya laki-laki, namun karena iman dan akhlaknya. Maka karena iman dan akhlaknya Nabi, beliau dikenal oleh miliaran manusia,” tegasnya.
Sehingga ayat ketiga dari Surat al-Kautsar seolah menegaskan bahwa orang yang abtar bukanlah Nabi Muhammad SAW namun yang abtar adalah orang yang membenci nabi.
“Bahwa surat al-Kautsar ini adalah antitesis dari surat al-Maun. Pertama, ibadah itu harus dilakukan semata-mata karena Allah, kemudian sifat bakhil itu dilawan dengan memberikan sesuatu yang paling mulia, sebagaimana unta adalah harta yang paling mulianya orang arab,” tandasnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni