Dua sejoli yang dikenal sebagai aktivis pergerakan, hendak melangsungkan pernikahan. Setelah berbagai hal disiapkan, undangan resepsi pun disebar ke banyak kalangan, termasuk kepada kawan-kawan seperjuangan.
Bukan senang karena mendapat undangan, para sahabatnya justru berkomentar sinis setelah melihat foto-foto mesra si calon pengantin terpampang dalam undangan. “Belum menjadi suami isteri kok sudah berfoto memamerkan kemesraan?” gumam mereka bernada keberatan.
(Baca:Keluar Rumah di Masa Iddah dan Bank Air Susu Ibu)
Tapi itulah tren yang kini mewabah di kalangan kaum muda, tak terkecuali para aktivisnya. Bahwa bagi setiap pasangan yang mau menikah, seolah ‘wajib’ menjalani ritual pre wedding photography atau fotografi pra nikah.
Tradisi pre wedding photography atau lazim disebut prewed, kabarnya mulai muncul di China pada era 90-an, seiring dengan maraknya industri film melodrama yang didukung promosi besar-besaran melalui poster, baliho dan iklan di TV.
(Baca: Hukum Shalat Perempuan yang Mengalami Keguguran dan Nifas Bedah Caesar)
Dengan menerapkan konsep pencahayaan di dunia fotografi, dan olahan warna pada aplikasi komputer, jadilah poster yang memuat pose mesra dua pemain yang menggambarkan suasana bahagia. Peluang tersebut kemudian ditangkap oleh fotografer China untuk menciptakan sebuah acara pernikahan seperti premiere film, yang dekorasi ruang acaranya bertebaran poster dan foto.
Namun ada pula yang menyebutkan, tradisi ini berasal dari Singapura. Kemunculannya didorong oleh keinginan untuk mengurangi stress para pasangan menjelang hari H. Dengan foto prewed mau tidak mau pasangan harus berpose gembira dan bahagia. Hasil pemotretan lalu dipasang di sampul surat undangan dan standing foto memasuki gerbang tempat acara.
(Baca: Bagaimana Cara KB yang Islami? dan Menikah tanpa Restu Orangtua)
Terlepas dari mana asal tradisi ini, yang pasti prewed telah menjelma menjadi industri tersendiri di dalam negeri. Prewed merupakan keberhasilan industri fotografi dalam melebarkan market bisnisnya di dunia pernikahan sampai ke segala segi. Masalahnya kini, bagaimana pemotretan yang kerap dilakukan dengan pose mesra sebelum akad nikah ini dalam perspektif syar’i?
Pernikahan dalam Islam bukanlah sekadar seremoni untuk melegalkan hubungan dua sejoli. Lebih dari itu juga bernilai ibadah. Sejumlah rambu-rambu dibuat agar tujuan mulia untuk membangun rumah tangga sakinah, tidak ternoda oleh hal-hal yang salah kaprah.
Misalnya, Islam menganjurkan calon suami isteri untuk saling mengenalnya. Tetapi bukan berarti bebas berduaan ke mana saja, dan melakukan apa saja. Karena selama belum ada akad nikah, keduanya tetaplah orang lain yang pergaulanya dibatasi rambu-rambu agama. selanjutnya halaman 02…