Hampir Mati Buya Hamka Pertahankan Kemerdekaan, Sinopsis Film Hamka dan Siti Raham. Oleh Editor PWMU.CO Nely Izzatul
PWMU.CO – Film Buya Hamka volume 2 dengan judul Hamka dan Siti Raham telah tayang di bioskop sejak Kamis, (21/12/2023).
Jika di volume sebelumnya Buya Hamka banyak digambarkan sebagai aktivis Muhammadiyah, di volume 2 ini Buya ditampilkan sebagai pejuang kemerdekaan, sosok ayah yang melindungi serta sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama.
Menyaksikan film Buya Hamka volume 2 ini, kita disuguhi pemandangan alam Sumatera Barat yang sangat menawan. Danau Maninjau, Nagari Taram, Bukik Takuruang adalah contoh kecil keindahan yang dimiliki Sumatera Barat.
Di awal cerita, Buya sebagai sosok pejuang kemerdekaan, bertolak dari kampung halamannya di Padang Panjang mengajak masyarakat sekitar untuk bersatu, berhadapan langsung dengan pasukan Belanda yang hendak merebut kembali kedaulatan dan kemerdekaan.
Buya bergerilya dengan para pejuang, keluar masuk di pedalaman-pedalaman Sumatera Barat. Ia meninggalkan Siti Raham dan anak-anaknya, kecuali Rusydi. Rusydi Hamka turut dalam perjalanan ayahnya untuk berangkat mengangkat senjata melawan penjajah Belanda.
Saat mereka menumpangi perahu di tengah-tengah Danau Maninjau, tiba-tiba terdengar suara pesawat terbang dari kejauhan. Ternyata itu adalah pesawat tempur milik penjajah Belanda yang sedang berpatroli. Buya meminta semua pengikutnya untuk berpura-pura memancing ikan, agar tidak ketahuan.
Pesawat tersebut terbang merendah dan berputar berulang kali di atas Danau Maninjau. Dalam kondisi panik dan takut, Buya meminta seluruh pengikutnya untuk berdoa. Dia mengingatkan jika pesawat tersebut menjatuhkan tembakan, maka semua harus bersiap untuk mati tenggelam di Danau Maninjau.
Rasa takut kemudian berubah syukur tatkala pesawat tersebut kembali terbang tinggi dan semakin menjauh. Tak putus-putusnya Buya melantunkan kalimat hamdalah dan takbir. Alhmdulillah, Allahu Akbar.
Komitmen Berjuang
Merasa perjalanan semakin berbahaya, Amir (salah satu pengikut Buya Hamka) mengatakan, apa tidak sebaiknya perjalanan ini dihentikan dan seluruh rombongan kembali saja. Tapi Buya Hamka tetap bersikeras untuk melanjutkan.
“Takut kalian semua? Saya juga takut. Tapi hanya orang takut yang bisa berani. Sebab keberanian adalah melakukan sesuatu yang ditakutinya. Kalau kalian merasa takut, berdoalah kepada Allah. Insya Allah, Allah akan memberikan kesempatan untuk berani. Hasbunallah wa nikmal wakil. Cukuplah Allah sebagai penolong,” tegas Buya.
Keberanian Buya Hamka untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan terus dilakukan dengan mengajak para pejuang dan gerilyawan di Sumatera Barat. Namun saat itu, ternyata ia dan pasukan dihadapkan pada bentrokan pemuda kampung dengan Hizbullah.
Saat mengalami hal itu, Buya Hamka dengan ketegasannya mengingatkan agar Hizbullah dan pemuda kampung menghentikan tembakan.
“Demi Allah darah kita sama merah, tulang kita sama putih. Kita makan dari bumi yang sama, bumi pertiwi. Kita minum dari langit yang sama, langit pusaka. Di tanah Allah tercinta ini kita lahir sebagai saudara. Untuk apa kita saling berperang? Untuk apa kita saling menyerang dan bermusuhan? Sementara musuh kita yang sebenarnya sedang berpesta di luar sana. Simpan senjata kalian. Haii. Simpan senjata kalian!” teriak Buya.
“Sudah saatnya kita berdamai, sudah saatnya kita bersatu. Demi Allah, kalau kalian ingin anak cucu kalian hidup tenang di negara ini, hentikan semua permusuhan. Hentikan semua kebencian. Bersatulah. Demi Allah, bersatulah,” imbuhnya dengan tegas.
Namun nasihat Buya itu tidak didengar baik oleh pasukan Hizbullah maupun pemuda kampung. Dhuarrrrr.. Buya Hamka tertembak peluru dari salah satu pasukan. Seketika semua pengikut Buya Hamka panik. Rusydi pun berteriak keras memanggil Ayah…. Ayah…. Ayah. (*)