Pemilu Mirip Sepakbola Harus Fair Play, Ada Etika Kehidupan Berbangsa; Kolom oleh Prima Mari Kristanto
PWMU.CO – 2024 akan menjadi puncak tahun politik. Kampanye dan persaingan antarkandidat akan semakin sengit.
Menuju hari “H” pemilu tanggal 14 Februari 2024 semakin banyak kejadian yang menyita perhatian dan emosi masyarakat. Setelah hari “H” pelaksanaan pemilu masih akan melalui ujian demi ujian perhitungan suara, rekapitulasi, sampai penetapan perolehan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Jika ada ketidakpuasan oleh beberapa kandidat caleg dan capres-cawapres maka gugat-menggugat tidak terelakkan menjadi tugas berat Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga yang baru saja didera pelanggaran etik pada tahun 2023 memiliki momentum mengembalikan marwah etiknya di tahun 2024.
Politik bukan ilmu pasti seperti matematika atau fisika, 1+1=2, gaya berbanding lurus dengan tekanan sebagaimana teori fisika.
Politik dan pemilu meskipun hasil akhirnya berupa angka perolehan suara, 10 persen, 20 persen, 51persen dan sebagainya tetapi prosesnya tidak sama dengan matematika atau fisika.
Politik dan pemilu lebih menyerupai pertandingan sepakbola. Meskipun sepakbola hasil akhirnya juga angka berupa skor 1-1, 2-0, 3-1 dan sebagainya tetapi prosesnya tidak seperti 4×4=16.
Perolehan angka dalam sepakbola selain ditentukan teknik dan ketrampilan bermain, juga ditentukan kode etik bermain, wasit dan pemain, serta penonton. Fair play menjadi komitmen yang dijunjung bersama insan olahraga termasuk sepakbola.
Muhammadiyah telah merumuskan konsep Darul Ahdi wa Syahadah, bangunan permusyawaratan yang membentuk Indonesia sebagai negara kesepakatan dari perjanjian yang disepakati. Kesepakatan-kesepakatan dibuat untuk kebaikan bersama, sebagaimana mengatur tata cara bermain, kode etik permainan, pemain, penonton, wasit, dan seluruh perangkat manusia yang peduli kemajuan sepakbola.
Kode etik menjadi hal yang abstrak, hampir tidak tampak, sulit dirumuskan secara jelas, nyata atau cetho welo-welo kata orang Jawa. Etik sulit dipahami dengan logika atau kepala, lebih mengena jika dieja dengan “rasa”, lha dhala makin tidak jelas saja konsep etika.
Bagi seorang Muslim, etik bukan hal yang asing jika memahami konsep adab di atas ilmu, ta’limul muta’alim. Demikian juga bagi warga Muhammadiyah secara luas (pengikut Rasulullah Muhammad SAW), bukan sekadar anggota serta simpatisan ormas, tentu paham dengan tugas utama Rasulullah dalam memperbaiki akhlak,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
Etika Kehidupan Berbangsa
Etik dalam berpolitik, berbangsa, dan bernegara, bukan sekadar wacana atau bahan ceramah belaka, tetapi telah menjadi dokumen negara berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yakni Tap MPR No VI/MPR/2001.
Secara lengkap Ketetapan MPR tersebut diberi judul “Etika Kehidupan Berbangsa” ditandatangi seluruh unsur pimpinan MPR produk reformasi 1998 dan pemilihan umum 1999. Wakil dari partai politik, utusan daerah, utusan golongan dan TNI/Polri, Amien Rais, Ginandjar Kartasasmita, Sutjipto, Jusuf Amir Feisal, Nazri Adlani, Husni Thamrin, Agus Widjojo sepakat dengan Ketetapan tersebut.
Pengertian dari Etika Kehidupan Berbangsa merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan berbangsa.
Maksud dan tujuan rumusan tentang Etika Kehidupan Berbangsa ini untuk membantu memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa. Etika Kehidupan Berbangsa dirumuskan dengan tujuan menjadi acuan dasar untuk meningkatkan kualitas manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia serta berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa.
Tap MPR VI/MPR/2021 dibuka dengan pendahuluan mengenai latar belakang Bangsa Indonesia diciptakan Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagai bangsa majemuk atas dasar suku, budaya, ras dan agama. Anugerah tersebut patut disyukuri dengan cara menghargai kemajemukan yang hingga saat ini tetap dapat terus dipertahankan, dipelihara, dan dikembangkan.
Semua agama turut memperkokoh integrasi nasional melalui ajaran-ajaran yang menekankan rasa adil, kasih sayang, persatuan, persaudaraan, dan kebersamaan. Selain itu, nilai-nilai luhur budaya bangsa yang dimanifestasikan melalui adat istiadat juga berperan dalam mengikat hubungan batin pada diri setiap warga bangsa.
Kesadaran kebangsaan mengkristal lahir dari rasa senasib, sepenanggungan, akibat penjajahan, telah berhasil membentuk wawasan kebangsaan Indonesia seperti yang tertuang dalam Sumpah Pemuda pada tahun 1928, yaitu tekad bertanah air satu dan berbangsa satu serta menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Tekad bersatu ini kemudian dinyatakan secara politik sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat dalam proklamasi 17 Agustus 1945. Akan tetapi, sejak terjadinya krisis multidimensional, muncul ancaman yang serius terhadap persatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa.
Hal itu tampak dari konflik sosial yang berkepanjangan, berkurangnya sopan santun dan budi luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan, dan sebagainya yang disebabkan oleh berbagai faktor dari dalam maupun luar negeri.
Faktor-faktor penghambat dan yang sekaligus merupakan ancaman tersebut dapat mengakibatkan bangsa Indonesia mengalami kemunduran dan ketidakmampuan dalam mengaktualiasikan segenap potensi yang dimilikinya untuk mencapai persatuan, mengembangkan kemandirian, keharmonisan dan kemajuan.
Oleh sebab itu, diperlukan upaya sungguh-sungguh untuk mengingatkan kembali warga bangsa dan mendorong revitalisasi khazanah etika dan moral yang telah ada dan bersemi dalam masyarakat sehingga menjadi salah satu acuan dasar dalam kehidupan berbangsa.
Pokok-pokok Etika Kehidupan Berbangsa memuat etika sosial dan budaya, etika politik dan pemerintahan, etika ekonomi dan bisnis, etika penegakan hukum yang berkeadilan, etika keilmuan, terakhir etika lingkungan.
Tap MPR VI/MPR/2001 juga merumuskan arah kebijakan dan kaidah pelaksanaan dari Etika Kehidupan Berbangsa. Sebagai penutup tertulis “Etika kehidupan berbangsa ini disusun untuk diamalkan oleh seluruh warga bangsa”.
Jelas sudah bahwa etik menjadi hal penting dan menjadi dokumen resmi negara sejak tahun 2001 bagian dari gerakan reformasi 1998. Sehingga tidak salah jika di antara warga negara saling mengingatkan pentingnya etik demi kemaslahatan bersama.
Hukum dan peraturan-peraturan perundang-undangan dibuat untuk menghadirkan keadilan. Dengan etik, hukum dan peraturan diharapkan bisa dijalankan dengan apik, baik, cantik. Tampaknya hukum baru bisa benar-benar menjadi panglima jika etik dijadikan panglima besar bahkan panglima tertingginya.
Selamat tahun baru. Berharap tahun 2024 menjadi tahun pengamalan etik menuju bangsa berdaulat dengan pemerintahan terhormat di mata dan di hati masyarakat dari proses demokrasi yang sehat bermartabat. Wallahualambishawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni