PWMU.CO – Dalam Pilgub Jatim 2018, bisakah Muhammadiyah punya jago sendiri dan menang? Pertanyaan itu mengemuka dalam kegiatan Peningkatan Kualitas Mubaligh (PKM) Wilayah Kerja III, Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, yang berlangsung di Komplek SMK Muhammadiyah Jalan Raya Mojo Kumpul Kupang Kemlagi, Mojokerto, Jumat (29/7) malam.
“Muhammadiyah belum punya jago. Senangnya menjagokan kader lain. Padahal seperti pengalaman di Lamongan dan Bojonegoro, kader Muhammadiyah bisa juga jadi bupati,” kata Ketua Majelis Tablig PDM Kota Surabaya Suhadi M Sahli, sang penanya itu, sambil menyebut mantan Bupati Lamongan Masfuk dan Bupatu Bojonegero Suyoto.
(Berita terkait: Waspada! Ada 9 Upaya Penghancuran terhadap Umat Islam Indonesia)
“Mohon tips-tipsnya,” pinta Suhadi kepada Aribowo, yang menjadi narasumber dalam sesi itu. Mendapat jawaban itu Wakil Ketua Majelis Tabligh PWM Jatim itu menjelaskan, kalau mau berhitung dengan voting behavior, kekuatan Gus Ipul itu di Tapal Kuda tapi lemah di Matraman,” ujar pria yang lebih dikenal sebagai pengamat politik itu.
Untuk wakilnya, tambah dia, bisa ambil dari Muhammadiyah. Itupun partainya menghitung dengan seksama apalagi di Jawa Timur ini ada 38 kabupaten/kota. “Namun jika maju menjadi gubernur, jago dari Muhammadiyah perlu dikalkulasi lagi dengan berkali-kali perhitungan karena partai-partai besar tidak akan tinggal diam,” jelas dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Univeristas Airlangga itu.
(Baca juga: Sepertinya Jokowi yang Akan Menang pada Pemilu 2019, tapi Lihatlah Ahok ….. dan Aribowo Bangga Muridnya Jadi Ketua KPU RI)
Menurut Arobowo, Muhammadiyah harus “sombong”. Tidak perlu menghamba-hamba untuk menjadi figur politik. “Muhammadiyah ini besar dan harus berjiwa besar,” ungkapnya sambil mengungkapkan rasa syukurnya bahwa dalam kegiatan ini ada materi perpolitikan. “Ini mendorong para mubaligh agar melek politik dan selalu up date mengenai kiprah perpolitikan di Indonesia,” kata Aribowo.
Aribowo mendapat kesempatan menyampaikan materi kebangsaan dengan tema Berbagai Kemungkinan dalam Pilgub Jawa Timur. Dia mengatakan, sebagai kader Muhammadiyah sangat bangga jika diminta untuk berbagi ilmu kepada para pejuang Muhammadiyah.
Mengenai peta politik Jawa Timur, Aribowo menjelaskan bahwa hasil pemilu itu sesungguhnya tidak mudah diprediksi. “Apalagi jika muncul calon-calon baru tanpa peta kekuatan pengusung dan basis massa yang jelas, melawan incumbent yang memiliki peta kekuatan 60 persen,” ungkapnya.
Menurutnya, hasilnya bisa berubah secara radikal meski selisih tipis. Contoh kasus Pilgub di DKI Jakarta. “Di Indonesia ini menarik dan lucu. Jika ada pemilu, money politic itu menjadi hal yang lumrah. Dan lucunya jika pemilih diberi uang belum memilih tentu memilih yang kasih uang,” ujarnya disambut tawa peserta.
(Baca juga: Begini Kata Ahli Politik Muhammadiyah soal Rezim Jokowi dan Pengamat LIPI Siti Zuhro: Politik Taqlid Bukan Kultur Muhammadiyah)
Aribowo kembali mengungkap tentang 3 gejala politik di Jatim. Yaitu pertama dealignment politic dengan indikator: menurunnya angka kehadiran pemilih, meningkatnya angka perpindahan pilihan, menguatnya dukungan pada partai ketiga, dan banyaknya pemilih independen.
Kedua, adalah oligarki politik dan politik dinasti. “Biangnya politik dinasti adalah PDIP, meski mereka tak mau mengakuinya,” sindir Aribowo.
Ketiga, begal politik. Begal (jegal) politik dimaksudkan agar tidak ada calon lain. Fenomena terbarunya adalah presidential threshold 20 persen. “Padahal sebelumnya Presiden Jokowi menolak politik transaksional kalau mau mendukungnya. “Silakan dukung tapi tidak ada transaksi,” ujar Aribowo menirukan. Namun, ujarnya, dalam kenyataannya, politik transaksional dalam era ini sungguh luar biasa.
“Melihat fenomena seperti ini Muhammadiyah jangan mudah ditarik sana ditarik sini. Bahasanya agak jual mahal sedikitlah. Memang jumlah massa Muhammadiyah tidak sebanyak ‘saudara muda’ kita. Tapi kualitas insyaallah terjamin,” kata Aribowo. (Ferry Yudi AS)