“Saya bersumpah demi Allah, kalau saya mengalami mikraj seperti yang dialami Nabi Muhammad, niscaya saya tidak akan turun lagi ke bumi …”
Abdul Quddus
PWMU.CO – Masyarakat (Muslim) Indonesia akan menghadapi dua peristiwa penting di bulan ini. Pertama, pada Kamis 8 Februari 2024 akan memperingati peristiwa Isra Mikraj yang dialami Nabi Muhammad SAW pada 27 Rajab 621 Masehi.
Kedua pada Rabu 14 Februari 2025 akan mengikuti pemilihan umum (pemilu) presiden dan wakil presiden, anggota DPR/DPRD, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sebuah ajang pemilihan calon pemimpin bangsa.
Apa hubungan antara kedua peristiwa di atas? Sangat menarik karena ternyata satu hal penting yang bisa kita ambil benang merahnya adalah soal kepemimpinan.
Memang, dalam berbagai ulasan tentang Isra Mikraj, yang banyak diulas adalah sisi ‘kontroversi’, apakah Nabi SAW melakukannya dengan jasad dan rohnya sekaligus, atau dengan rohnya saja. Atau pembahasan yang hanya berkutat pada dimensi shalat sebagai ‘oleh-oleh’ Nabi SAW dari perjalanan itu.
Padahal, jika kita membaca sejarah lebih teliti, banyak sekali sisi kepemimpinan yang menyertai peristiwa itu. Tentu, jika kita berkenan untuk merangkai Isra Mikraj dengan peristiwa yang menyertainya, terutama peristiwa penting sebelumnya.
Hikmah dari Dua Peristiwa
Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (Litera AntarNusa, 2002), mencatat beberapa peristiwa penting yang dialami Nabi sebelum melakukan perjalanan Isra Mikraj.
Pertama, pemboikotan yang dilakukan kaum Quraisy terhadap beliau bersama umat Islam dan Bani Hasyim. Pemboikotan ini berlangsung selama tiga tahun (dimulai tahun ke-7 kenabian). Dalam kurun itu Nabi SAW bersama-sama kaumnya diisolasi di sebuah bukit dan diembargo secara ekonomi dan budaya.
Dari peristiwa pemboikotan tersebut ternyata kita bisa menemukan sebuah teladan agung kepemimpinan beliau. Rupanya Nabi SAW dan keluarganya adalah teladan seorang pemimpin yang tetap setia bersama umat (baca rakyat), dalam kondisi tersulit sekali pun.
Sejarah mencatat, Nabi SAW sampai makan dedaunan dan sang istri, Khadijah, ikut merasakan hidup serba kekurangan itu, suatu keadaan yang belum pernah dirasakannya sebagai pengusaha kaya.
Teladan seperti ini penting untuk dipungut di tengah lunturnya kesetiaan dan kebersamaan pemimpin kita terhadap rakyatnya. Sebab yang sering terjadi adalah pemimpin meminta kesetiaan rakyat.
“Seorang pemimpin harus tetap tegar berjuang meski dihadang lawan politiknya. Seorang pemimpin juga dituntut memiliki jiwa besar, sekalipun kepada musuhnya.”
Di tengah krisis multidimensi, pemimpin bukannya berempati pada rakyat, melainkan justru diam-diam mengambil hak rakyat (baca korupsi) demi kemakmuran diri dan kroninya. Berbagai kasus korupsi yang menimpa pejabat kita belakangan ini adalah contoh yang sangat telanjang!
Kedua, setelah merdeka dari pemboikotan, Nabi SAW kembali menerima kepahitan atas meninggalnya Abu Thalib, seorang paman yang diibaratkan sebagai perisai dari gangguan kafir Quraisy, dan Khadijah, seorang istri tercinta, yang bagaikan dinamo penggerak semangat perjuangannya. Dalam ketiadaan dua tokoh utama itu, sementara tekanan politik kafir Quraisy semakin kuat, maka dengan hanya ditemani Zaid bin Harits, beliau mencoba mencari harapan baru bagi umatnya ke kota Thaif.
Namun, apa yang didapat? Bukan saja ditolak, beliau bahkan diintimidasi secara fisik. Sampai-sampai Nabi SAW mengadu kepada Allah dengan untaian kalimat kepasrahan penuh keharuan, yang kemudian dikenal dengan doa Thaif. Hebatnya, ketika malaikat menawarkan untuk menghancurkan Kota Thaif, Nabi sangat keberatan dan menolaknya.
Kata kunci dari peristiwa di atas adalah perlunya pengorbanan dari seorang pemimpin untuk rakyatnya. Seorang pemimpin dituntut untuk tetap berjuang di garda depan, meskipun harus sendirian karena ditinggal pendukung utamanya. Seorang pemimpin harus tetap tegar berjuang meski dihadang lawan politiknya. Seorang pemimpin juga dituntut memiliki jiwa besar, sekalipun kepada musuhnya.
Kini, tidak banyak kita temukan pemimpin yang siap berkorban seperti itu. Yang banyak kita dapati justru pemimpin yang siap mengorbankan rakyatnya, demi merebut dan mempertahankan kekuasaannya. Bahkan dengan cara melanggar konstitusi demi politik dinasti.
Sama sulitnya saat kita mencari pemimpin yang siap berlapang dada jika mengalami kekalahan dari seteru politiknya atau pemimpin yang mampu memaafkan lawan politiknya yang gagal dan kalah.
Baca sambungan di halaman 2: Nabi Muhammad Kembali ke Bumi