PWMU.CO – Pembaruan pendidikan KH Ahmad Dahlan itu keren sekali yang sekarang semua lembaga pendidikan mengikutinya.
Hal itu disampaikan Prof Dr Ma’mun Murod dalam ceramah Pengajian Sang Pencerah PDM Kota Surabaya di Masjid al-Ghoriib Tambak Oso Wilangun, Ahad (25/2/2024).
Pelaksana pengajian ini kerja sama Majelis Tabligh PDM Kota Surabaya dengan PCM Benowo. Streaming pengajian bisa dilihat di sini.
Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta Ma’mun Murod menjelaskan, pendidikan di nusantara itu dulu ada dua macam. Satu model pesantren yang seratus persen ilmu agama pakai kitab kuning.
”Saya termasuk pernah di pesantren Tambak Beras, punjere NU. Meskipun pada saat itu sudah ada gagasan-gagasan memasukkan ilmu umum,” katanya.
Satu lagi model Taman Siswa yang dikelola organisasi Budi Utomo pengajarannya semua ilmu umum.
Ma’mun mengatakan, yang diajarkan di pesantren itu agama dalam pengertian privat seperti bab thaharah, istinja’, shalat, zakat, haji, waris.
”Tidak membahas bagimana dulu umat Islam sudah sampai ke Spanyol, menaklukkan Eropa. Itu kan tidak mungkin dibahas di kajian bab thaharah, istinja’. Bab itu pasti yang dikaji itu bukan sesuatu yang luar biasa seperti membuat meriam, kapal dan sebagainya,” ujarnya.
Kiai Dahlan saat berada di Mekkah membaca pemikiran Muhammad Abduh tentang semangat pembaruan Islam dari pemikiran jumud yang membuat umat muslim terbelakang.
Lalu pulang ke Jawa menawarkan pembaruan pendidikan dengan cara menggabungkan pendidikan agama dengan pendidikan umum.
”Yang awalnya sekolah duduk di lantai kemudian ganti meja kursi, bahkan pakai dasi, pakai pakaian ala Barat yang pada saat itu dianggap sebagai pakaian kafir,” tuturnya.
Maka Kiai Dahlan dikafir-kafirkan orang karena melakukan sesuatu di luar kepatutan pada zaman itu.
Tapi Kiai Dahlan bersikap apapun komentar orang kalau dia yakin apa yang dilakukan itu benar maka jalan terus.
”Sekarang model pembaruan yang ditawarkan Kiai Dahlan dipakai oleh semua lembaga pendidikan. Mana sekarang pendidikan yang tidak menggabung pendidikan agama dan umum. Hanya persentase yang berbeda. Mualimin misalnya pendidikan agama 70 persen, umum 30 persen. Kalau Madrasah Aliyah pendidikan agama dan umum hampir seimbang,” tuturnya.
Menyelesaikan Masalah
Menurut dia, selain pembaruan pendidikan, dakwah Kiai Dahlan itu juga menyelesaikan masalah masyarakat. Misalnya, ada orangtua mau menikahkan anaknya tak cukup biaya syukuran. Kata Kiai Dahlan, ya sudah cukup menikah saja yang penting syarat nikah terpenuhi, ada wali dan dua saksi, selesai.
Begitu juga ada orang bertanya mau tahlilan tapi tidak ada biaya, Kiai Dahlan tidak membid’ahkan tahlilan itu tapi berpendapat ya sudah cukup berdoa kapan saja.
Menurut dia, sebagian kecil orang Muhammadiyah saat berdakwah di tempat umum dengan tema bid’ah itu kaku dan kontra produktif.
Apalagi cara padang orang terhadap Muhammadiyah dari zaman Kiai Dahlan sampai sekarang belum berubah yaitu dianggap sebagai Wahabi.
Padahal, sambung dia, strata masyarakat itu kira-kira begini. Ada abangan, naik sedikit ada NU, naik sedikit lagi ada Muhammadiyah, naik lagi ada Persis. Kalau di Sulawesi Selatan ada Wahdah Islamiyah, itu bagian orang Muhammadiyah yang kecewa karena Muhammadiyah dianggap tidak galak, tidak keras. Di atas lagi ada Salafi.
”Jadi posisi Muhammadiyah hanya setingkat di atas NU, padahal di atasnya lagi masih ada yang keras-keras. Tapi cara pandang orang terhadap Muhammadiyah ini sampai kapan tidak berubah dianggap Wahadi padahal bukan,” tandasnya.
”Kenapa bisa begitu, karena dipelihara supaya jangan berubah kalau berubah selesai itu. Gak ada lagi proyek-proyek yang berkaitan NU-Muhammadiyah. Kira-kira begitu,” selorohnya.
Dakwah Kultural
Dia melihat pendekatan dakwah Muhammadiyah sekarang sudah banyak berubah. Prinsip u’du sabili rabbika bilhikmah wal mauizhatul hasanah wa jadilhum bilati hiya ahsan diterapkan dengan pendekatan kultural.
Dulu Muhammadiyah dipandang anti budaya. Hadrah misalnya bid’ah, marawis bid’ah. ”Tapi campur sari tak ada yang menyebut bid’ah,” guraunya.
Namun, dia menjelaskan, Muktamar Jakarta ada keputusan dakwah kultural. Keputusan ini muncul dengan kesadaran Islam hadir di tanah ini bukan di ruang hampa tapi sudah ada masyarakatnya dengan budaya macam-macam.
”Budaya itu yang seharusnya diisi, bukan dipinggir-pinggirkan. Sudah ada yang melaksanakan pentingnya dakwah kultural misalnya ada pesantren Muhammadiyah main marawis dan hadrah,” ceritanya.
Fakta bahwa strategi dakwah masuknya Islam di nusantara ini dimasuki dengan kesenian dan perkawinan. Misalnya, juru dakwah yang menikah dengan anak raja kemudian masuk Islam.
Ma’mun Murod juga menerangkan,menurut disertasi Alwi Shihab, Alfian, Mitsuo Nakamura bahwa kelahiran Muhammadiyah itu untuk membendung Kristenisasi misionaris Belanda.
”Tapi yang dilakukan Kiai Dahlan bukan teriak-teriak di mimbar, seperti yang dilakukan sebagian orang Muhammadiyah dengan ayat wa lan tardho ankal yahudu wan-nashara hatta tatabi’a millatahum,” tuturnya.
Dakwah Kiai Dahlan, kata Ma’mun, prinsipnya apa yang Kristen punya Muhammadiyah juga harus punya.
Kristen punya sekolah Muhammadiyah harus punya, Kristen punya rumah sakit Muhammadiyah harus punya rumah sakit. Kristen punya panti asuhan Muhammadiyah harus juga punya panti asuhan.
”Itu cara membendung arus Kristenisasi yang cerdas. Kira-kira spiritnya itu,” ujarnya.
Penulis Dzanur Roin Editor Sugeng Purwanto