Oleh: Abdul Rozak Ali Maftuhin SPd Ketua MPID PDM Kota Blitar
PWMU.CO – Dalam perjalanan panjang Muhammadiyah, organisasi ini telah mengukir jejak signifikan dalam sejarah sosial dan keagamaan di Indonesia. Sebagai kader Muhammadiyah, ada panggilan yang lebih dalam daripada sekedar mengikuti rutinitas organisasi apalagi sebatas Kajian Ahad Pagi. Ada seruan untuk berjuang dengan totalitas dan keikhlasan yang tidak tergoyahkan.
Menurut saya, menjadi bagian dari Muhammadiyah adalah tentang menempatkan diri pada barisan terdepan dalam perjuangan melawan ketidakadilan, ketidaktahuan, dan kemiskinan, berbekal nilai-nilai Islam yang lurus dan murni.
Pada tahap ini, kader Muhammadiyah dihadapkan pada satu komitmen, tentang bagaimana menunaikan amanah dan seruan berjuang di persyarikatan tanpa mengajukan syarat. Komitmen untuk bermuhammadiyah tanpa syarat dan tapi-tapian menuntut lebih dari sekadar kesetiaan verbal. Ini adalah manifestasi dari keberanian untuk berdiri teguh pada prinsip, loyalitas, dan totalitas, meskipun dihadapkan pada tantangan dan godaan untuk berkompromi.
Tentu, konsekuensi logisnya tidak berhenti pada kesediaan terteranya nama kita di Surat Keputusan (SK) untuk mengemban amanah tertentu. Lalu ketika totalitas dalam tindakan nyata diuji, masih sering kata “tapi” dilayangkan sebagai bentuk kompromi.
Dahulu, saya pernah menghadapi karyawan Rumah Sakit Muhammadiyah yang membela diri atas ketidak-aktifannya di Muhammadiyah. Repot dan jadwalnya padat, begitu sanggahnya. Kemudian saya jawab “Sampean pikir pengurus-pengurus Muhammadiyah itu pengangguran semua? Sehingga aktif di Muhammadiyah untuk mengisi waktu luang.”
Prof Dr Syamsul Arifin MSi pernah berkata, pengangguran dan pemalasan tidak ada ruang di Muhammadiyah. Mereka ini ketika diberi amanah tidak akan ditunaikan dengan baik dan banyak mengumbar alasan-alasan. Sebaliknya, mereka yang sibuk dan rajin kerap diberi amanah lebih, karena mereka terbiasa mengatur waktu dengan baik dan tanpa banyak tapi-tapian.
Saya melihat ini bukan hanya sebagai idealitas, tetapi sebagai kesempatan untuk membuktikan kekuatan yang sesungguhnya dari iman dan ketangguhan moral. Dalam setiap tindakan dan keputusan, seorang kader Muhammadiyah harus menunjukkan bahwa mereka tidak hanya siap untuk berjuang tetapi juga untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi kebaikan umat dan bangsa.
Kepada kader-kader Muhammadiyah, seruan untuk mengabdikan diri tanpa syarat merupakan ajakan untuk menghidupkan kembali semangat para pendahulu yang dengan gigih memperjuangkan nilai-nilai Islam melalui pendidikan, dakwah, dan aksi nyata lainnya.
Bukankah KH Ahmad Dahlan mewasiatkan pesan yang begitu mendalam tentang itu? “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”. Pesan singkat yang cukup menggetarkan jiwa kader Muhammadiyah agar memiliki mentalitas menebar kebermanfaatan untuk umat, bukan mengambil keuntungan yang bersifat individualistik.
Perjuangan ini bukan hanya tentang kehadiran fisik di berbagai kegiatan organisasi. Lebih dari itu, ini adalah tentang militansi ideologi, dimana setiap kader Muhammadiyah diharapkan untuk menjadi teladan dalam kejujuran, kerja keras, dan kasih sayang. Bermuhammadiyah dengan totalitas adalah tentang menerjemahkan ajaran Islam ke dalam tindakan nyata yang membawa perubahan positif dalam masyarakat.
Setiap dari kita yang mengaku kader persyarikatan Muhammadiyah harus siap bermuhammadiyah tanpa syarat dan tapi-tapian. Hal ini merupakan esensi dari dedikasi yang tidak hanya mencerminkan komitmen seseorang terhadap nilai-nilai Islam, tetapi juga terhadap cita-cita luhur Muhammadiyah itu sendiri.
Ini adalah perjalanan yang menuntut tidak hanya kekuatan iman, tetapi juga keberanian untuk menghadapi tantangan dengan hati yang bersih dan niat yang tidak terbelah. Sebagai kader, tugas kita adalah memastikan bahwa setiap langkah yang kita ambil membawa kita lebih dekat ke tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.(*)
Editor Ni’matul Faizah