Oleh: Muhsin MK
PWMU.CO – Manusia dalam hidupnya selain menjadi objek juga sebagai subjek. Sebagai objek manusia karena diciptakan. Keberadaannya hasil ciptaan Allah. Karena itu manusia haruslah tunduk dan patuh pada penciptanya.
Sebagai subjek manusia memiliki peran dan tanggung jawab di dunia ini. Manusia diciptakan sebagai khalifah di bumi. Karena itu manusia menjadi subjek dalam memakmurkan dan memajukan semua makhluk di dalam bumi tempat hidupnya.
Anak Objek Pendidikan
Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seorang anak manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah. Orang tuanya yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” (HR Bukhari dan Muslim)
Ini artinya anak manusia sebagai objek pendidikan orang tuanya. Anak itu sesungguhnya lahir dalam keadaan bersih, tanpa dosa dan seorang muslim. Namun orang tuanya yang yang membuatnya beragama lain.
Sebagai objek, pendidikan anak tidak memiliki kewajiban tapi hak. Kewajiban mendidik ada pada orang tuanya, termasuk pendidik dan tokoh di lingkungan masyarakatnya. Anak hanya berhak mendapatkan pendidikan yang baik dari orang tuanya atau dari guru dan masyarakatnya.
Hak anak mendapatkan pendidikan wajib diberikan oleh keluarga, orang tua, guru dan masyarakatnya di lingkungan masing-masing. Hal ini perlu dilakukan agar anak anak tidak menjadi orang yang lemah. (An-Nisa: 9)
Dengan Pendidikan, mereka diharapkan tidak menjadi orang yang lemah iman, ilmu, mental, fisik dan ekonominya. Karena itulah mereka perlu diberikan pendidikan yang seimbang antara yang berhubungan dengan dunia dan akhirat.
Itulah sebabnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menginginkan kebahagiaan dunia maka tuntutlah ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan kebahagiaan akhirat, tuntutlah ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan keduanya, tuntutlah ilmu, baginya jalan ke surga.” (HR. Ahmad)
Demikian pentingnya pendidikan yang seimbang antara Dien dan dunia. Ilmu Dien harus diberikan secara seimbang dengan ilmu dunia. Karena itu peran dan tanggung jawab orang tua dalam memberikan pendidikan tersebut pada anak-anak sungguh diharapkan. Di antaranya dengan cara memasukkan mereka, apakah ke pesantren atau sekolah Islam dan Muhammadiyah.
Anak Subjek Pendidikan
Selain sebagai objek, anak-anak juga menjadi subjek pendidikan. Sebagai khalifah di bumi, mereka juga memiliki peran dan tanggung jawabnya, baik pada dirinya maupun untuk orang tua, masyarakat dan lingkungan hidupnya.
Dalam Islam seorang anak wajib berbakti dan berbuat baik pada kedua orang tuanya. Bahkan dilarang berbuat durhaka kepada ibu bapaknya. Dia harus berbakti hingga keduanya tua dan sesudah wafatnya.
Hal ini berarti anak sebagai subjek pendidikan mengaktualisasikan nilai-nilai yang telah ditanamkan orang tua dan gurunya pada saat dirinya menjadi objek pendidikan. Sebagai subjek dia yang merealisasikan secara konkret, kontinyu dan konsisten dalam hidup dan kehidupannya.
Para Nabi dan Rasul saat masih anak-anak telah berperan menjadi penggembala kambing atau domba. Seperti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika masih kecil menjadi penggembala kambing di lingkungannya.
Walau masih anak-anak, para Nabi dan Rasul telah melakukan aktivitas konkrit dalam masyarakat dan lingkungan hidupnya. Ternyata aktivitas sebagai penggembala kambing itu merupakan proses pendidikan dari Allah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang kelak menjadi pemimpin dunia dan kemanusiaan.
Pendidikan Kemanusiaan pada Anak
Pendidikan kemanusiaan (humanitarian education) juga disebut pendidikan yang manusiawi. Yakni pendidikan yang memelihara kasih sayang dan rasa hormat terhadap makhluk hidup, baik manusia, hewan, alam dan lingkungan hidup. (Wikipedia.org)
Dalam pendidikan kemanusiaan ini, anak dapat menjadi objek dan subjek. Sebagai objek anak perlu mendapatkan perhatian, kasih sayang dan penghargaan dari orang tua, guru dan sesamanya.
Adapun sebagai subjek anak pun berkewajiban memberikan perhatian, kasih sayang dan rasa hormat kepada orang tua, guru dan orang orang yang dituakan dalam masyarakat. Termasuk juga ia memberikan perhatian dan kasih sayang kepada hewan dan lingkungan hidupnya.
Pendidikan kemanusiaan ini telah dicontohkan oleh Lukmanul Hakim dalam mendidik anaknya dengan penuh kasih sayang. Beliau memanggil anaknya saja dengan menyebut “ya bunaya (wahai anakku)”. Panggilan kasih sayang dan lemah lembut.
Lukman memberikan pendidikan kemanusiaan pada anaknya dalam beberapa bentuk, berikut ini. Pertama, mendidik kasih sayang dan berbuat baik pada orang tua. (Lukman: 14)
Kedua, memberikan perhatian dan kasih sayang kepada sesama dan orang lain dalam mengajak berbuat baik. Walau pada hal-hal kecil dan sedikit. Selain itu dengan kasih sayang dan lemah lembut mencegah orang lain berbuat buruk dan dosa. (Lukman: 16-17)
Ketiga, memberikan perhatian dan menghormati sesama tanpa memalingkan wajah karena sombong dan angkuh. Selain itu juga tidak membangga-banggakan diri pada orang lain.(Lukman: 18)
Keempat, bersikap rendah hati dan sederhana dalam berperilaku terhadap sesama di mana saja. Serta melunakkan suara pada orang lain agar tidak menyerupai suara hewan. (Lukman: 19)
Sedangkan Ya’qub memberikan pendidikan kemanusiaan kepada anak anaknya. Beliau memanggilnya pun “ya bunaya (wahai anakku)” dengan kasih sayang dan lemah lembut.
Bentuk bentuk pendidikannya sebagai berikut: Pertama, mengajarkan agar tidak menceritakan kejadian yang dialaminya pada orang lain. Hal ini untuk menjaga hubungan baik dan kasih sayang mereka serta agar tidak ada rasa iri hati dan benci. (Yusuf: 5)
Kedua, agar anak-anak patuh pada perintah orang tua, bersikap baik dan sopan saat memasuki tempat atau rumah orang lain, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan. (Yusuf: 67-68)
Ketiga, agar anak-anak berusaha bersama sama dan bekerjasama dengan sungguh-sungguh, bersabar dan tidak berputus asa dalam mencari keluarga atau orang lain yang hilang, sehingga bisa diketemukan kembali dengan baik. (Yusuf: 87) (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah