PWMU.CO – Sebagai pegawai negeri sipil (PNS), Asri (bukan nama sebenarnya) dikenal rajin dan biasa masuk kantor lebih pagi. Namun sudah sebulan ini, perempuan berjilbab itu tidak menampakkan diri. “Saya ndak berani, karena baru sebulan ditinggal mati suami,” kata dia memberikan argumentasi.
Sikap perempuan berjilbab ini didasarkan pada nasihat seorang kiai, bahwa sesuai tuntunan al-Quran dan hadits nabi, wanita yang ditinggal mati suami, hendaklah tetap tinggal di rumah menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari, dan tidak boleh merias diri.
(Baca:Kontroversi Hukum Pre Wedding dan Bank Air Susu Ibu)
Tidak mudah bagi Asri menjalani fatwa ini. Pasalnya tiada tempat kerja yang mentolerir seseorang cuti selama seratus tiga puluh hari. Bagai makan buah simalakama… dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati. Masuk kerja selama masa iddah bisa dinilai tidak Islami, tapi tidak kerja bisa menimbulkan problem ekonomi tersendiri. Problem Asri, boleh jadi menimpa kebanyakan muslimah karir di masa kini, sehingga perlu ada solusi secara syar’i.
***
Kata ‘iddah berasal dari bahasa Arab: ‘adda ya‘uddu ‘iddah. Artinya, menghitung sesuatu. Kata iddah kini telah diserap menjadi bahasa Indonesia. Menurut syara’ iddah berarti masa menunggu bagi perempuan yang dicerai oleh suami, baik cerai hidup maupun cerai mati, untuk tidak menikah lagi selama iddahnya belum selesai.
(Baca: Hukum Shalat Perempuan yang Mengalami Keguguran dan Nifas Bedah Caesar)
Bagi wanita cerai hidup, masa iddahnya tiga kali masa suci dari haidh (QS. Al-Baqarah: 228). Namun bila dia adalah wanita yang tidak haidh entah karena belum cukup usia atau lanjut usia, masa iddahnya tiga bulan. Sedangkan bila dalam kondisi hamil, masa iddahnya hingga lahir si bayi. Sedangkan wanita yang ditinggal mati suami, masa iddahnya empat bulan sepuluh hari (QS. al-Baqarah: 234).selanjutnya halaman 2…