Ahmad Sulaiman (Foto: PWMU.CO)
Ahmad Sulaiman, S.Psi., M.Ed., M.Ag – Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Aktif di persyarikatan sebagai Sekretaris PCM Karangploso-Kab. Malang, dan Anggota MPK-SDI PWM Jawa Timur
PWMU.CO – Artikel Tempo yang berjudul ‘Muhammadiyah Putuskan Terima Izin Tambang’ (25/7) segera menyebar luas sesaat setelah ditayangkan. Artikel yang memuat wawancara dengan salah satu ayahanda Ketua PP Muhammadiyah, Buya Anwar Abbas itu kini sudah dibagikan di grup-grup Muhammadiyah di beragam media sosial serta menjadi perbincangan hangat para aktivis dan akademisi yang menaruh perhatian.
Berita itu sebetulnya merupakan kabar yang telah lama dinanti. Sejak beberapa minggu, sudah muncul sekilas informasi tentang penyikapan itu. Sebuah status di media sosial whatsapp dari seorang tokoh Muhammadiyah menampilkan banner mengenai pertemuan yang bertemakan diskusi atas izin tambang. Banyak yang penasaran dengan hasilnya.
Para pemimpin di organisasi otonom sendiri merespon dengan ragam narasi. Berbagai komentar mereka umumnya berbicara soal perlunya mengkaji dan menimbang. Namun, gambaran yang lebih jelas mengenai sikap mereka dapat dipahami dari kata-kata seperti ‘perlunya meminimalkan dampak’ atau ‘bagaimana mendistribusikan secara berkeadilan’ hingga ‘perlunya turut andil langsung’.
Poin paling terakhir itu menarik untuk diulas sejenak.
Independensi Muhammadiyah
Partisipasi Muhammadiyah dalam mengawal pemerintahan Indonesia secara kritis merupakan suatu tradisi yang panjang dan menjadikan Muhammadiyah bernilai besar bagi bangsa. Bukan suatu ungkapan yang berlebihan bila mengatakan bahwa negara ini mungkin sudah ambruk sejak lama tanpa peran kritis Muhammadiyah yang mengawal dan meluruskan berbagai kebijakan dan program publik yang kadang kurang peka terhadap aspirasi seluruh elemen warga.
Melalui independensi, Muhammadiyah dapat memberikan tanggapan yang objektif, tidak bias dan tidak berlebihan. Semua reaksi persyarikatan adalah reaksi yang presisi sesuai dengan analisa atas berbagai dimensi. Independensi juga membuat Muhammadiyah tidak perlu sungkan atau ragu-ragu manakala harus memberikan cubitan atau bahkan pukulan. Pemerintah juga akhirnya sangat memperhitungkan dan menghormati Muhammadiyah.
Hal ini sayangnya menghasilkan jarak yang dianggap menyebabkan Muhammadiyah kehilangan ‘madu-madu’. Sebagian orang mengulang-ulang kerugian material dan mendorong persyarikatan untuk mengambil peran lebih bahkan masuk sebagai eksekutor program-program nasional. Mereka menambahkan betapa mubazir sumber daya manusia dan jaringan Muhammadiyah yang demikian luas manakala tidak dapat berkontribusi langsung.
Kritik atas Partisipasi Muhammadiyah
Pandangan partisipasi Muhammadiyah memiliki beberapa kritik substansial. Pada satu sisi, dikhawatirkan bahwa keterlibatan tersebut menyibukkan Muhammadiyah dari tuntutan utama selaku sebuah gerakan moral, agama dan peradaban. Keterlibatan itu juga jangan sampai membuat–secara virtual–persyarikatan berada pada posisi yang tidak seimbang dengan negara. Sejatinya, masing-masing memiliki fungsi dan peran yang penting dan harus saling menghormati dengan saling mengisi sesuai porsi.
Negara boleh jadi menguasai hasil bumi dan berhak mengelola sebagaimana konstitusi yang telah disepakati. Hal ini bukan berarti bahwa negara lebih kaya dari Muhammadiyah. Faktanya Muhammadiyah lebih kaya dengan memiliki jutaan kader yang berhimpun tanpa gaji, renumerasi atau bagi komisi. Sudah begitu jutaan insan Muhammadiyah itu punya mentalitas bekerja profesional dan sukarela yang menghasilkan ribuan amal usaha maju nan mandiri.
Pada sisi lain, pandangan partisipasi langsung sering tidak sejalan dengan kepentingan organisasi secara umum. Membina Islam yang murni dan berkemajuan janganlah dipaksakan berhubungan langsung dengan eksplorasi tambang yang rawan merusak lingkungan sehingga merugikan masyarakat banyak dalam jangka panjang. Kontradiksi semacam ini mudah dimengerti dan idealnya semakin mempertegas sikap persyarikatan dalam menolak program yang tidak linear dengan visi dan fungsi organisasi.
Perlu diingat pula bahwa Muhammadiyah memiliki jumlah sarjana yang tidak sedikit yang mendalami persoalan lingkungan dan tahu secara gamblang bahwa pertambangan memiliki potensi kelemahan dibalik kekayaan sementara yang ditawarkan. Demikian itu maklum karena pertambangan adalah suatu aktivitas ekonomi. Masalahnya, beban ekologi yang akhirnya akan ditanggung bangsa dan ummat akan jauh lebih berat dari manfaatnya.
Sebaiknya Menolak Tambang
Sejatinya kebijakan pemberian izin pertambangan memiliki tujuan-tujuan. Salah satu tujuan itu adalah membebani dengan tugas-tugas di luar visi persyarikatan yang berkonsekuensi merintangi gerak persyarikatan yang gesit dan luas dalam mengatasi masalah-masalah sosial-kemanusiaan. Hal ini mengkhawatirkan karena bagaimana juga bangsa ini sangat membutuhkan Muhammadiyah yang peran strategisnya tidak akan dapat tergantikan.
Suara-suara kritis dari sebagian anggota persyarikatan yang terhimpun dalam Kader Hijau Muhammadiyah juga musti sangat dipertimbangkan. Mereka selama ini telah banyak bersinggungan dengan isu-isu lingkungan dan tahu banyak mengenai kondisi nyata di lapangan. Fakta semisal dampak-dampak negatif pertambangan yang mustahil ditangani dan berbagai kerugian masif yang telah dialami masyarakat musti menjadi pengingat bagi semuanya.
Mereka mendorong semua ormas Islam untuk tidak hanya sekedar menolak izin usaha pertambangan, namun menolak aksi pertambangan itu secara keseluruhan. Mereka terilhami oleh firman Tuhan yang dengan penuh kasih-sayang mengingatkan manusia semua:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-rum: 41).
Tentu firman tersebut bukan anjuran agar kita menunggu ‘akibat’ yang telah Tuhan janjikan. Sebaliknya justru firman itu mengingatkan agar kita mengantisipasi kerusakan alam dengan giat merawat pelestarian lingkungan. Harapannya, ‘akibat’ itu dapat dihindari dan dimunculkan ‘akibat’ lain yang menggembirakan kehidupan kemanusiaan secara umum. Demikian itu akan selaras dan konsisten dengan kerja-kerja Muhammadiyah yang selama ini telah diwujudkan.
Muhammadiyah diharapkan dapat terus konsisten sebagaimana selama ini sebagai sebuah gerakan yang kritis melawan usaha-usaha sengaja sebagian manusia yang rentan merusak keragaman hayati, mengusir masyarakat asli, atau menciptakan limbah baru yang berdampak turun-temurun. Muhammadiyah telah lama mengingatkan bahwa beban ekologi yang akan ditanggung melampaui dari segala potensi ekonomi. Hal ini jangan sampai terlupakan.
Muhammadiyah juga akan melanjutkan upayanya dalam menggalakkan kesadaran ekologis yang bersumber kepada nilai-nilai agama yang selama ini terpendam karena belum banyak perhatian dan pembacaan kepada keseluruhan pesan ilahi. Hal itu demi mengembalikan keserasian manusia dan sesama makhluk Tuhan dengan mengaktualisasi makna khalifah yang sejati sebagai perawat dan pelestari alam.
Editor Teguh Imami