Oleh Alfi Saifullah – penulis kolom, buku biografi & sejarah
PWMU.CO – Sosoknya sederhana, lugu, polos dan apa adanya. Mungkin mirip L’Ingénu (Si Lugu) dalam karya Voltaire yang terkenal itu. Andaikata kita boleh mempercayai kebenaran analisis ‘ngelmu katuranggan’ (fisiognomi), bisa merujuk pada karya ulama klasik Kitab al Firasat karya Imam Fakhrudin Ar-Razi (1150-1210). Niscaya akan menemukan ciri-ciri kepribadian sanguinis-melankolis dalam sosok satu ini.
Jika kita meneropongnya melalui paradigma Tasawuf Amali, Pak AR dapat disebut sebagai tokoh yang bertipologi sufi 24 karat. Nilai-nilai tasawufnya bisa dikatakan telah mengejewantah dalam setiap tindakan dan ucapannya. Meminjam istilah Dr Kuntowijoyo dalam karyanya yang berjudul ‘Muslim tanpa Masjid’, Pak AR dapat digolongkan sebagai ‘Sufi tanpa Tarekat’.
Mungkin itulah sketsa-sketsa kecil untuk menggambarkan kepribadian KH Abdur Rozaq Fachrudin, yang popular dengan sapaan Pak AR. Sosok yang paling lama dalam menahkodai Persyarikatan Muhammadiyah (1968-1990). Bahkan melebihi masa kepemimpinan sang foundhing fathers Muhammadiyah Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Kesederhanaan Pak AR memang terimplementasikan dalam setiap perilakunya. Sebagai pucuk pimpinan organisasi Islam level nasional (pusat), Pak AR tidak gengsi berjualan bensin eceran didepan rumah. Beliau juga selalu menolak untuk menerima amplop dari setiap pejabat yang berkunjung ke rumahnya.
Dus, kesederhanaan itu terealisasikan pula dalam pilihan bahasa, diksi, style dan intonasi ketika berbicara. Kita mungkin bisa menelaah rekaman ceramahnya di RRI atau Mimbar Agama Islam TVRI yang legendaris itu. Ceramah yang sempat membikin setiap pendengarnya merasakan elemen-elemen yang menyejukkan jiwa. Bahasa yang dapat diterima secara holistic tanpa membedakan strata sosial.
Kesederhanaan Pak AR tidak sekadar dipraktikkan pada perilaku sehari-hari atau saat berceramahnya. Tetapi juga kala berhadapan dengan urusan yang jauh lebih penting, seperti kaitannya dengan urusan politik kenegaraan.
Al kisah, pada 1985 saat rezim Orde Baru mengesahkan Undang-Undang (UU) No. 3/1985 yang mewajibkan seluruh organisasi masyarakat — termasuk Muhammadiyah — untuk mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal. Penerapan asas tunggal sebagai kekhawatiran rezim Orde Baru akan tumbuhnya ideologi-ideologi sectarian yang berpotensi mengancam Ideologi Pancasila.
Sebelumnya, beberapa tokoh Islam seperti M Natsir, Sjafrudin Prawiranegara, dan KH Bisri Sjamsuri sempat melayangkan ketidak setujuannya atas penerapan asas tunggal itu. Penolakan itu sebagai bentuk perlawanan atas sikap otoriter Orde Baru dalam melakukan indoktrinasi Pancasila. Penerapan asas tunggal dinilai bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Juga adanya kekhawatiran pada tokoh-tokoh itu akan penyejajaran Islam sebagai agama vis-a-vis Pancasila dan berbagai aliran kepercayaan yang perlahan-lahan mulai diakui pemerintah.
Polemik yang berkembang menjadi “pro dan kontra” pun terjadi di Muhammadiyah. Menerima Pancasila sebagai asas tunggal sama saja menghilangkan identitas diri sebagai organisasi Islam. Sebaliknya menolak juga akan menambah rumit hubungan dengan pemerintah.