Oleh: Alfi Saifullah – penulis kolom, buku biografi & sejarah
PWMU.CO – Sejarah korupsi di negeri ini adalah sejarah klasik. Budaya korup — demikian Buya Syafii Maarif menyebutnya — muncul seiring dengan berdirinya Indonesia sebagai sebuah negara, bahkan jauh sebelum itu. Dalam berbagai kajian, para sejarawan menganggap korupsi sebagai warisan masa kolonialis Belanda yang masih berlangsung hingga kini. Hal ini dapat dibuktikan dengan bangkrutnya Kongsi dagang Belanda yang Bernama VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada 1799 akibat korupsi.
Berikutnya, wabah korupsi menular kedalam struktur pemerintahan, mulai dari level mikro setingkat kamituwa (kepala Dusun), hingga ke level makro seperti Pangreh Praja dan Bupati. Perilaku korupsi juga telah mewaris kepada para elite yang lain secara massif. Maka sejak era kolonial Belanda, pendudukan Jepang, Orde Lama, Orde Baru hingga pasca era Reformasi ini, tindak kejahatan korupsi turut hadir dan mempengaruhi berbagai praktik dan pengambilan kebijakan pemerintah.
Pemerintah melakukan berbagai upaya pemberantasan korupsi. Pada masa Orde Lama sebenarnya telah tumbuh kesadaran untuk pemberantasan korupsi meski lemah dalam praktiknya. Pada era Orde Baru (1966-1998) juga memperkenalkan upaya pemberantasan korupsi. Ironisnya pada masa ini justru kejahatan korupsi tumbuh subur di kalangan elite pejabat dan kian berkembang melalui jaringan oligarki kekuasaan. Pasca-Reformasi 1998, pada 2002 pemerintah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini telah membongkar sejumlah kasus korupsi kelas kakap. Sayangnya, selalu ada hambatan pada setiap tingkat masih menjadi ancaman utama upaya pemberantasan korupsi.
Buya Hamka tentang Korupsi
Secara etimologi, korupsi terambil dari Bahasa Latin ‘corruptio’ dari kata kerja ‘corrumpere’ yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, dan menyogok. Oxford Unabridged Dictionary mendefinisikan korupsi sebagai penyimpangan atau perusakan integritas dalam pelaksanaan tugas-tugas publik dengan penyuapan atau balas jasa. (Dr. M. Masyhuri Na’im dkk, 2006; 23-24). Secara konteks, korupsi termasuk semesta kebohongan. Dan kebohongan, meski kerap bersembunyi di balik artikulasi kejujuran dan moralitas, ia tetaplah salah satu motor penggerak utama dari korupsi.
Setidaknya seorang koruptor telah meengumpulkan 4 jenis kebohongan sekaligus, yaitu:
- Bohong terhadap rakyat, bangsa dan negara.
- Bohong terhadap keluarga yang telah menganggapnya sebagai orang baik.
- Bohong terhadap Tuhan yang telah memberinya amanah (terutama bagi seorang pejabat publik).
- Bohong terhadap diri sendiri. Karena elemen dasar manusia cenderung terhadap kebenaran.
Buya Hamka (1908-1981) pernah mengungkapkan bahwa salah satu syarat menjadi pembohong adalah berbohong secara berlapis-lapis. Seorang pemimpin yang berdusta tidak hanya merusak diri sendiri, tetapi juga masyarakat yang di pimpin. Buya menyampaikan ungkapan ini terhadap putranya, Irfan Hamka. Menurut Buya Hamka, ada 3 syarat (tips) utama untuk menjadi pembohong. Pertama, harus memiliki mental baja, berani, tegas, dan tidak ragu-ragu untuk berbohong. Kedua, tidak pelupa akan kebohongan yang diucapkannya. Dan ketiga, harus menyiapkan bahan-bahan perkataan bohong untuk melindungi kebenaran bohongnya yang pertama. (Irfan Hamka, 2016; 11)
Dalam hal ini Buya seolah-olah memberi petunjuk sederhana bagi siapapun yang berambisi menjadi politisi sukses di negeri ini, namun inilah sesungguhnya ejeken Buya terhadap rapuhnya moralitas. Bukankah kita terbiasa menyaksikan atau bahkan berada dalam berbagai skenario kebohongan yang dirancang dengan mental baja? Bukankah kita kerap terkagum-kagum pada kecerdikan pembohong yang mampu merajut kisah demi menutupi korupsi?
Buya Hamka, ulama besar kelahiran Maninjau 17 Februari 1908 tersebut berkata, “Tidaklah ragu lagi, kemerdekaan suatu bangsa adalah hasil dari kemerdekaan (kebebasan) jiwa. Salah satu bukti suatu jiwa yang masih berjiwa budak, jiwa hamba adalah kebiasaan berbohong, kebiasaan memungkiri janji, serta kebiasaan tidak bertanggung jawab atas suatu kesalahan yang dilakukan dan tidak mau mengakui perbuatan sendiri.” (Prof. Dr. Hamka, 2017; VII)
Secara tidak langsung, Buya Hamka hendak menggarisbawahi bahwa penjajahan adalah berawal dari kebohongan. Penjajahan bisa dalam bentuk fisik, mental, budaya, politik maupun ekonomi. Penjajahan apapun jenisnya, bermuara dalam satu akar, “kebohongan”.
Kebohongan tak ubahnya orang buta yang tidak mengenal kasta, jenis kelamin, jabatan, kondisi ekonomi, ataupun pendidikan. Melakukan kebohongan bisa secara kolektif (Bersama-sama dan bekerja sama) maupun individu (sendirian). Dan penjajahan sebagai akibat dari kebohongan bisa melintasi batas waktu. Bisa terjadi di masa lalu, masa kini, maupun masa mendatang.
Karenanya agar jiwa dan mental kita merdeka secara absolut, mentalitas bohong haruslah disingkirkan sejauh mungkin dari setiap jengkal pikiran, hati, dan gerak-gerik kita. Berteladanlah pada nabi dan rasul yang selalu membangun integritas dan kehormatan terlebih dahulu. Manusia pilihan Allah itu cenderung berperilaku sidiq (jujur) sebelum diutus kepada umatnya? Bagaimana mungkin seorang yang jiwanya terjajah akan dapat mengarahkan umat?
Buya Hamka mempertegasnya dalam uraian tentang pentingnya sebuah kejujuran, “Sikap jujur dan berani mempertahankan kebenaran adalah intisari dari jiwa yang merdeka. Sementara itu, kebohongan atau kemunafikan adalah gejala dari jiwa budak”.
Masih ada harapan
“Beri saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor, satu untuk saya sendiri jika saya pun melakukan hal itu (korupsi),” demikian statemen Perdana Menteri China, Zhu Rongji.
Statement yang dilontarkan pada tahun1998 itu kemudian direalisasikan dengan memberi vonis mati terhadap Cheng Kejie, seorang pejabat tinggi Partai Komunis Tiongkok karena terlibat suap sebesar US$ 5 juta.
Menyambut Hari Anti Korupsi Internasional, yang jatuh pada 9 Desember, seharusnya menjadi momentum refleksi, bukan sekadar rutinitas dan perayaan simbolis. Tidak cukup hanya mengecam korupsi yang tampak di permukaan. Juga tidak sekedar berbicara tentang pemberantasan korupsi tanpa membongkar akar permasalahannya, kebohongan yang telah mengakar. Ketika pejabat berbohong demi menutupi skandal, dan janji politik tak lebih dari retorika belaka, sama artinya memberi arahan kepada rakyat bahwa kebohongan merupakan kebutuhan strategis atau konsekuensi yang harus dibayar sebagai pertahanan. Jika demikian keadaannya, kepercayaan akan menjadi entitas yang lebih rendah dari deretan angka-angka uang. Wallahu a’lamu bish As-Shawab (*)
Editor Notonegoro