Oleh: Alexs Mac (BikersMu Bumi Bung Karno)
PWMU.CO – Touring kini menjadi hobi yang digemari berbagai kalangan, baik di kota maupun di desa. Semua orang dapat menikmati sensasi perjalanan panjang bersama kendaraan kesayangan. Alasan orang melakukan touring pun beragam. Ada yang menggunakannya sebagai sarana melepas penat—healing istilahnya. Ada juga yang ingin sejenak melarikan diri dari kerumitan hidup, meskipun masalah tetap menunggu saat mereka kembali. Bahkan, ada yang bercanda, “Biar istri marah, touring tetap jalan!” Meski begitu, pulangnya tetap harus menerima omelan.
Namun, bagi seorang Muslim, touring tidak sekadar hobi atau pelarian. Touring bisa menjadi jalan untuk menajamkan spiritualitas dan memperkuat hubungan dengan Allah. Caranya? Dengan tadabbur (merenungkan ciptaan Allah) dan tafakkur (berpikir mendalam) atas tanda-tanda kebesaran-Nya yang dijumpai sepanjang perjalanan.
Ayat Touring: Sebuah Refleksi Perjalanan
Allah telah menurunkan “ayat touring” dalam Al-Qur’an yang dapat menjadi renungan bagi setiap pejalan:
“Katakanlah, ‘Berjalanlah di bumi, lalu perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan. Kemudian Allah akan menciptakan kehidupan yang akhir. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.'” (QS. Al-Ankabut: 20)
Menurut tafsir Al-Qurtubi, ayat ini mengajarkan kita untuk berjalan dengan penuh penghayatan, mengambil pelajaran dari apa yang kita lihat. Ketika kita memandang gumpalan awan di langit, gunung yang menjulang, atau hamparan hijau alam, itu semua adalah cerminan kebesaran Allah yang menguatkan iman.
Nouman Ali Khan, seorang dai asal Amerika, pernah berbagi pengalaman saat touring. Ia melihat sekawanan ternak yang tak terganggu meski diklakson berkali-kali. Momen itu mengingatkannya pada firman Allah:
“Mereka itu seperti hewan ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.” (QS. Al-A’raf: 179)
Ayat ini menggambarkan manusia yang tidak mau mendengar nasihat dan menutup hati dari kebenaran. Sebuah pelajaran mendalam yang ia petik dari kejadian sederhana di jalan raya.
Touring Pelan-Pelan: Ruang untuk Renungan
Sayangnya, banyak penghobi touring yang terlalu sibuk mengejar kecepatan. Motor digeber bak pemain tong setan, melesat tanpa memberi ruang untuk menikmati keindahan alam atau merenungi maknanya. Wussss! Hilang sudah peluang untuk tadabbur dan tafakkur.
Padahal, Brooke McAlary dalam bukunya Slow Living menekankan pentingnya memperlambat ritme hidup. Melambat bukan hanya soal kecepatan kendaraan, tetapi juga memberi ruang untuk kontemplasi, merenung, dan menghidupkan kesadaran. Touring yang terlalu cepat hanya menjadi rutinitas fisik, bukan perjalanan batin.
Saran sederhana: “Ojo ngebut! Ojo kesusu-susu!” Touring dengan ritme lambat memungkinkan kita melihat lebih banyak, merasakan lebih dalam, dan mensyukuri lebih luas.
Mengubah Touring Jadi Ladang Amal
Touring juga bisa menjadi ladang amal, terutama jika dimanfaatkan untuk dakwah. Seperti yang dilakukan Bikers Muhammadiyah (BikersMu), yang menjadikan touring sebagai sarana menyebarkan kebaikan dan pesan Islam. Dengan visi “Melaju Bersama Dakwah”, touring BikersMu tidak hanya melintasi jalanan, tetapi juga menembus hati banyak orang.
Bayangkan perjalanan melalui Pegunungan Meratus, pedalaman, atau daerah terpencil. Touring bisa menjadi kesempatan menyalurkan bantuan, menyebarkan dakwah, dan mempererat ukhuwah. Setiap kilometer yang ditempuh menjadi amal jariyah, setiap putaran roda menjadi saksi perjuangan, dan setiap tetes keringat menjadi investasi akhirat.
Touring Sebagai Refleksi dan Penguatan Iman
Touring bukan hanya soal jarak, kecepatan, atau motor yang digunakan. Touring adalah perjalanan hati dan perjalanan iman. Ayat-ayat Allah yang terhampar sepanjang jalan menjadi pengingat nyata akan kebesaran-Nya.
Jadi, saat Anda merencanakan touring berikutnya, pertimbangkan untuk melambat. Nikmati pemandangan dengan penuh syukur, renungkan ciptaan Allah, dan jadikan perjalanan itu sebagai sarana mendekat kepada-Nya. Karena sejatinya, touring bukan hanya perjalanan menuju tujuan duniawi, tetapi juga perjalanan menuju ridha-Nya. (*)