
PWMU.CO – Benarkah Muhammadiyah talak tiga terhadap tasawuf? Seperti mencari jarum hitam di tengah malam yang gelap gulita, sebagai pemisalan yang tepat untuk menggambarkan betapa susahnya menemukan benang struktur formal tradisi tasawuf di kalangan ulama-ulama Persyarikatan.
Tapi benarkah Muhammadiyah hanya membatasi diri pada urusan fiqh yang kemudian disimbolkan dengan prilaku puritan dan jargon “Kembali kepada Al-Qur’an dan As-sunnah”? Ada yang menyebut bahwa ‘Manhaj Muhammadiyah tak ramah dengan tasawuf,‘ bahkan tak sedikit yang menyebut sebagai bid’ah dan khurafat yang harus di buang jauh.
Sebab itu pula konten putusan Majelis Tarjih pun hanya berkisar pada urusan aqidah, fiqh dan sedikit mu’amalah. Tak ada ruang untuk tasawuf.
Paradoks, meski tidak dilembagakan, prilaku tasawuf justru sangat kental dalam kalangan ulama-ulama Persyarikatan. Bahkan lebih substantif, membentuk sikap dan prilaku sebagian besar ulama, tidak membenam diri dalam riuh ritual formal sebagaimana lazimnya.
Prilaku tasawuf orang-orang alim di Muhammadiyah tidak disimbolkan dalam bentuk zikir atau struktur mursid suluk atau wirid, surban menjuntai dan jumlah pengikut. Tapi lebih merujuk pada “prilaku tasawuf” atau prilaku kesufian otentik.
Otentisitas prilaku kesufian inilah yang hendak saya kabarkan, yang mewujud dalam bentuk konseptual: ‘Ma’rifat ‘ala Minhajil Muhammadiyah’.
Kajian ini sama sekali tidak membincang berapa lama beliau duduk saat wirid atau sebesar apa tasbih yang ia putar atau karamah yang beliau dapatkan. Tapi fokus pada ikhtiar mencandra dari ‘buah tasawuf’ yang melembaga dalam prilaku kesufian otentik para ulama Persyarikatan.
“Ma’rifat adalah cahaya yang dilemparkan pada hati sang sufi,” tutur Dzun nun Al Mishri. Saya belum ada keberanian memberi ta’rif: apakah ini yang di sebut Tasawuf Ihsan seperti gagasan Ki Bagus Hadikoesoemo.
***
Realitasnya, indikator kesufian — semisal: zuhud, wara, raja’, mahabbah — menjadi bagian tak terpisah dari kehidupan para ulama Persyarikatan. KH Abdur Razaq Fakhruddin yang biasa disebut Pak AR dan Buya Syafi’i Maarif adalah pribadi kesufian otentik ulama Muhammadiyah dengan tidak bermaksud menafikan yang lain.
Meski menyandang nama besar, tidak menghalangi kedua tokoh ulama ini untuk hidup bersahaja sebagaimana ulama lainnya di Persyarikatan. Pak AR tetap jualan bensin eceran, mengendarai motor Yamaha butut dan tinggal di rumah kontrakan. Pak AR telah membikin Prof Nakamura dari Negeri Sakura Jepang keheranan. Pun dengan Buya Syafii Maarif yang tidak canggung belanja di warung sebelah, pergi sendirian tanpa pengawalan dan memenuhi kebutuhan hidup sendiri tanpa seorang pembantu.
Tiga kali berta’dzim. Orang Nogotirto menjawab sama: ‘bila beliau ada di rumah, beliau akan shalat berjamaah di masjid’. Di masjid itu pula semua tamu ditemui. Pikiran-pikiran besar Buya jauh melampaui generasi sebaya dan setelahnya, tak jarang beliau menerima amuk dari kader sendiri yang kebetulan belum paham. Sesuatu yang amat lumrah bagi sebagian besar ulama diperlakukan umatnya.
***
Kesahajaan ini menghampiri semua ulama-ulama di Persyarikatan — ulama tanpa pesantren dan santri meski menyandang gelar ulama. Sesuatu yang amat kental terlihat dalam tradisi kesufian di Muhammadiyah. Karena sikap zuhud ini pula tidak satupun ada keinginan memiliki aset yang jumlahnya puluhan triliun. Padahal kalau mau sangatlah bisa.
Para ulama itu hidup zuhud dan wara — mereka sudah selesai dengan urusan dunia. Pikiran terbaik, tenaga terbaik, waktu terbaik dan harta terbaik diwakafkan untuk Persyarikatan. Para Ulama di Muhammadiyah sudah selesai dengan urusan dirinya sehingga tidak menjadi urusan bagi jamaah dan pengikutnya.
Kyai Bedjo Dermoleksono misalnya, wakafkan semua hartanya untuk Persyarikatan tanpa sisa. Kemudian isterinya tinggal di rumah yang dipinjami dari Pimpinan Muhammadiyah dekat masjid Al Khairat Dinoyo tempat saya selama lima tahun menjadi marbot.
***
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah jangan mencari hidup di Muhammadiyah” bisa juga dimaknai mencari penghidupan yang baik dan halal di luar, kemudian dipakai untuk menghidupi Muhammadiyah.
“Jangan kau tawarkan jiwamu, karena jika sudah di kehendaki kamu akan mati. Tapi beranikah kau berikan harta bendamu untuk kepentingan agamamu?” adalah dua pesan Kyai Dahlan pada awal berdiri yang pembuktiannya dengan menggadaikan semua harta bendanya untuk membiayai sekolah yang beliau dirikan karena kesulitan likuiditas.
‘Ma’rifat ‘ala Minhajil Muhammadiyah’ Kyai Dahlan adalah keteladanan kepada seluruh muridnya untuk ma’rifat, mengenal dan memahami ruh dan spirit pergerakan ini secara kaffah — bukan semacam kawanan pekerja yang mencari sesuap makan di berbagai Amal Usaha Muhammadiyah, yang terus menagih untuk mendapatkan, tapi susah memberi.
***
Sebaliknya semua Amal Usaha Muhammadiyah: baik universitas, rumah sakit, bait amal dan lainnya adalah washilah dakwah, bukan tujuan. Manhaj inilah yang benar, yang harus terus ditransformasikan kepada semua aktifis pergerakan, menjaga spirit dan ghirah di tengah gempuran ideologi transnasional- tarbiyah dan liberal-sekular yang terus menghimpit. (*)
Editor Notonegoro