Oleh: Emha Ainun Nadjib
Yang hadir ke acara besar Ulang Tahun Pondok Modern Gontor Ponorogo itu banyak tokoh pemerintah dan para kiai. Menteri Agama, Gubernur Jatim, Pangdam, serta tentu saja para Muspika Ponorogo dan para tokoh alumni Gontor sendiri. Kemudian sangat penting untuk dicatat adalah tamu istimewa putranya Presiden Suharto, yakni Mas Bambang Trihatmodjo.
Acara diliput oleh salah satu stasiun televisi nasional yang ketika itu paling unggul. Bersama KiaiKanjeng saya bertugas mengisi acara. Setelah beberapa lama saya bicara dan satu dua nomor musik dibunyikan, seseorang mendatangi saya memberikan sobekan kertas yang isinya merupakan pemberitahuan agar saya tidak berbicara politik dan sejumlah blablabla lainnya.
Ternyata ada setan numpang di secarik kertas itu dan langsung merasuki saya. Mendadak muncul amarah di dada saya dan suhu panas di kepala saya. Mungkin karena peristiwa pemberian peringatan itu tidak logis bagi saya. Kenapa panitia mengundang orang yang mereka tidak percaya, sehingga perlu diberi peringatan? Saya bukan tukang makar. Saya tidak punya jiwa pemberontak. Tidak gagah berani melawan rezim. Mental saya pengecut untuk membenturkan diri saya kepada siapa pun dan apa pun.
Maka tangan kiri saya naik, jari telunjuk saya menuding ke arah putra presiden. ”He Bambang, nanti sampai rumah hitung kembali semua hartamu. Berapa persen yang halal, berapa persen yang haram dan berapa persen yang syubhat…”
Ruangan mendadak senyap. Anggota KiaiKanjeng berbisik dari belakang saya, “Cak, sudah, sudah tho. Itu anak Raja lho…”
Sebelum saya bereaksi, tiba-tiba terdengar suara pembawa acara yang dibunyikan dari mikrofon di tempatnya. ”Saudara-saudara, demikianlah tadi acara telah kita langsungkan dengan alhamdulillah lancar…”
Saya gebrak meja. Setan benar-benar menguasai hati saya. ”Diam!” saya membentak. ”Saya yang memulai, saya mengakhiri!”. Hampir saya teruskan menjadi improvisasi lagu dangdut. ”Kau yang memulai, kau yang mengakhiri…” Untung masih tersisa kesadaran untuk membatalkannya.
Semua diam dan tidak ada pergerakan apa-apa sampai paket KiaiKanjeng saya selesaikan. Ketika kami ke belakang panggung, ada tiga kali utusan, yakni ustadz-ustadz Gontor yang meminta saya untuk ke rumah Pak Kiai, makan bersama para tamu. Saya menjawab sangat kampungan: ”Siapa saja yang butuh saya, ke sini.”
Tiga utusan saya jawab sama. Sampai akhirnya saya kompromi: ”Baik, saya bersama KiaiKanjeng akan ke tempat transit, kemudian kami akan pulang, beberapa kendaraan kami akan berhenti di depan rumah Pak Kiai, dan hanya saya yang turun.”
Demikianlah yang kami lakukan. Konvoi kendaraan KiaiKanjeng berhenti tanpa mematikan mesin. Saya keluar, berjalan masuk ke rumah Pak Kiai, menyalami beliau dan pamit akan pulang ke Yogya. Saya langsung ngacir keluar rumah Pak Kiai, tanpa menoleh kepada satu orang pun. Kemudian kami melaju ke Ponorogo, mencari warung pecel.
Tiga hari kemudian Bu Halimah menantu presiden telepon saya. ”Cak, tolonglah, sejak pulang dari Gontor, Mas Bambang tidak mau keluar kamar dan tidak mau omong sama sekali. Bolehkah saya memohon Cak Nun datang ke Jakarta. Hanya Cak Nun yang bisa mengajak dia keluar kamar dan mengajak omong.”
Saya sungguh berterima kasih kepada diri saya sendiri karena mau memenuhi permintaan itu. Saya ke Jakarta. Mengetuk pintu kamar beliau. Kemudian mengobrol sedikit. Dan ternyata di ruangan lain sudah berkumpul sekian orang yang memimpin pengelolaan GN-Ota. Mas Bambang menyuruh mereka menerangkan kepada saya apa saja yang mereka lakukan dengan menunjukkan lembar-lembar faktanya.
Pak Harto tidak marah anaknya saya tuding-tuding dengan tangan kiri di Gontor di depan khalayak. Karena Pak Harto sendiri yang menyuruh saya agar mempermalukan anaknya. Setiap Bapak memerlukan anaknya dipermalukan. Setiap presiden membutuhkan anggota keluarganya dituding-tuding oleh rakyatnya.
Kadipiro, 8 November 2017
Judul asli : Pembubaran di Gontor