I’tidal selama ini biasa dilakukan dengan berdiri lurus dengan tangan menggantung. Tetapi, belakangan ini ada paham yang mengatakan posisi tangan saat i’tidal itu harus bersedekap. Sebenarnya bagaimana menurut hadits Nabi?
Dalam kitab-kitab fiqih mu’tabarah, yang biasa dikaji di berbagai pondok pesantren, bahkan yang menjadi bacaan para kyai, masalah sedekap ketika i’tidal ini tidak ada dalilnya secara sharih (jelas). Pendapat tentang posisi tangan sedekap ini baru muncul sekitar dekade enam puluhan yang dibawa oleh Syekh Abdul Aziz bin Bazz, Naib Rais Jami’ah Islamiyah Madinah al-Munawarah. Dan menjadi marak, setelah terjadi polemik dengan Syekh Muhammad Nashiruddin Albani yang tidak sepaham dengan Syekh bin Bazz. Kemudian oleh Majalah Al-Muslimun Bangil, diangkat sekitar tahun 1983, yang kebetulan penanggung jawab rubrik Kata Berjawab adalah A. Kadir Hasan (rahimahullah) yang condong pada pendapat Syekh bin Bazz. Sejak itulah, masalah ini menjadi perbincangan agak ramai. Jadi, kalau di tempat Anda baru ramai sekarang, sebenarnya agak terlambat.
Pokok masalah sedekap atau tidak dalam i’tidal merupakan hasil ijtihad atau pemahaman terhadap beberapa hadits Nabi saw. Diantaranya sebagai berikut:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَسِيءِ الصَّلاَةِ: فَإِذَا رَفَعْتَ رَأْسَكَ فَأَقِمْ صُلْبَكَ حَتَّى تَرْجِعَ الْعِظَامُ إِلَى مَفَاصِلِهَا
Rasulullah saw bersabda (mengajari) orang yang shalatnya kurang benar sebagai berikut: Dan apabila engkau mengangkat kepalamu (dari ruku’) maka luruskanlah tulang punggungmu, dan angkatlah kepalamu hingga tulang-tulang kembali pada sendi-sendinya. (HR Bukhari, Muslim, Darimi, Hakim, Syafi’i, dan Ahmad)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى صَلاَةِ رَجُلٍ لاَ يُقِيمُ صُلْبَهُ بَيْنَ رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ
Dari Abu Hurairah ra, berkata: Rasulullah saw pernah bersabda: Allah ta’ala tidak akan melihat shalat seseorang yang tidak meluruskan tulang punggungnya antara ruku’ dan sujud. (HR Ahmad dan Thabrani)
Dua riwayat di atas, dikutip dari kitab Shifatu Shalatin Nabiy oleh Syekh Muhammad Nashiraddin Albani, halaman 144 dan 146. Dua hadits tersebut menggambarkan ketika berdiri i’tidal, tulang punggung harus berdiri lurus, dan tulang-tulang — yang ketika ruku’ dalam posisi membungkuk itu — harus dikembalikan pada posisi semula. Termasuk kedua tangan yang ketika ruku’ itu memegang lutut, harus dilepas.
Dalam hadits itu tidak disebutkan di mana dan bagaimana posisi tangan. Karena itu lalu dipahami bahwa tangan “lurus” seperti semula adalah ketika berdiri hendak memulai shalat. Paham seperti ini diambil oleh kebanyakan ulama fiqih. Yang paling jelas dan tegas adalah A. Hasan, guru Pesantren Persis Bandung — yang kemudian dikenal dengan Hasan Bandung–. Dia mengatakan, cara bangkit dari ruku’ adalah: mengangkat tangan sebatas bahu serta menghadapkan kedua telapak tangan ke kiblat, lantas melepaskan dua tangan itu tergantung. Berdiri dengan melepaskan tangan tergantung itu dinamakan berdiri i’tidal. (Pengajaran Shalat, oleh A. Hasan, halaman 35).
Tetapi, ada pula yang memahami bahwa tulang-tulang punggung harus lurus, dan tulang-tulang kembali pada sendi-sendinya “selain tangan”, yakni tangan harus bersedekap. Alasannya hadits Nabi saw sebagai berikut:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُونَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ الْيَدَ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِي الصَّلاَةِ
Sahl bin Sa’d meriwayatkan, katanya: Manusia diperintahkan (oleh Nabi saw) supaya seseorang meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. (HR Bukhari)
كُنَّا مَعَاشِرَ اْلأَنْبِيَاءِ نُؤْمَرُ أَنْ نَضَعَ أَيْدِيْنَا الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى فِى الصَّلاَةِ
Kami para Nabi diperintahkan meletakkan tangan-tangan kanan kami di atas tangan-tangan kiri kami dalam shalat. (HR Nasa’i)
Diantara yang memahami demikian adalah Syekh A. Aziz bin Bazz dan Syekh Muhammad Shaleh al-Utsaimin, dua ulama senior dari Saudi Arabia. Pola pemikirannya, Rasulullah saw telah menjelaskan secara rinci posisi tangan ketika ruku’ (berpegang pada lutut), sujud (di atas tanah), dan duduk (di atas paha), yang berarti posisi tangan kanan di atas tangan kiri atau bersedekap dalam shalat itu adalah ketika “berdiri”. Sedang “berdiri” dalam shalat itu hanya ketika takbiratul ihram dan i’tidal (Fatawa al-Utsaimin, jilid I, halaman 442).
Namun, kalau kita perhatikan secara seksama, riwayat-riwayat seputar “sedekap” ini, baik yang fi’liyah maupun qauliyah Nabi saw adalah dalam konteks takbiratul ihram. Misalnya:
عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ كَبَّرَ وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ أُذُنَيْهِ ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى
Diriwayatkan dari Wail bin Hujr, dia melihat Nabi saw mengangkat kedua tangannya ketika memasuki shalat sambil bertakbir, kemudian beliau menyelimuti tangannya itu dengan bajunya, kemudian meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. (HR Muslim dan Ahmad).
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى الْيُمْنَى فَرَآهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى
Dari Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa dia pernah shalat, yang ketika itu dia meletakkan tangan kiri di atas tangan kanan, setelah hal itu dilihat oleh Nabi saw, lalu (atas perintah beliau) dia meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. (HR Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah).
Karena itu, Imam Muslim dalam Shahih Muslim dan Imam Syaukani dalam Nailul Authar membawakan hadits ini dalam bab Wadla’a Yadahul Yumnaa ‘alal Yusraa ba’da Takbiiratil Ihram (Meletakkan Tangan Kanan di atas Tangan Kiri sesudah Takbiratul Ihram). Di sini ditekankan pada “sesudah takbiratul ihram”.
Hadits Sahl yang diriwayatkan oleh Bukhari di atas sifatnya umum, muthlaq atau mujmal. Sementara hadits Wail dan Ibnu Mas’ud sebagai takhshis, qayyid atau bayyan. Sehingga keberadaan “bersedekap” dalam shalat itu hanya dalam posisi takbiratul ihram. Termasuk dalam rakaat kedua, ketiga, dan keempat. Karena dalam kaidah Ushul Fiqih dikatakan:
يُحْمَلُ الْعَامُ عَلَى الْخَاصِ – يُحْمَلُ الْمُطْلَقُ عَلَى الْمُقَيَّدِ – يُحْمَلُ الْمُجْمَلُ عَلَى الْمُبَيَّنِ
Yang umum harus dibawa pada yang khash. Yang muthlaq harus dibawa pada yang muqayyad. Yang mujmal (global) harus dibawa pada yang mubayyan (sudah terurai dengan rinci).
Oleh Nabi, urusan shalat ini dijelaskan secara rinci dengan fi’il maupun qaul, secara langsung atau melalui para sahabatnya, dari berdiri hendak shalat sampai salam, bahkan sampai wirid dan doanya. Termasuk posisi tangan dengan segala gerakannya. Sementara tentang posisi tangan dalam i’tidal ini tidak ada keterangan yang definitif. Karena itu, kita harus mengembalikannya pada asal, yaitu “tidak berada di dada/bersedekap”. Berarti harus kembali pada asalnya sama sekali, seperti sebelum shalat (lepas). Itulah, barangkali, yang disebut dalam kaidah Ushul Fiqih al-bara’atul ashliyah (kembali pada asal semula), atau yang lazim dikatakan:
بَقَاءُ مَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ
Keberadaan sesuatu yang berada itu persis seperti apa adanya semula
Syekh Muhammad Nashiruddin Albani, yang dikenal sebagai ahli hadits kurun ini, berpendapat tidak sedekap.