PWMU.CO – Islam di Indonesia selama ini dikenal ramah, tidak seperti di tanah kelahirannya, Timur Tengah. Lantas apa yang membedakan? Jawabnya singkat-padat, karena Islam di Indonesia bisa tertawa, sementara Islam Timur Tengah tidak bisa melakukannya. Umat Islam Indonesia bisa saja berbeda pendapat dalam banyak hal yang sifatnya fur’iyyah (cabang), tapi di luar itu, masih bisa tertawa bersama-sama. Demikian kata Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Yunahar Ilyas, ketika menjawab pertanyaan penasaran dari para peneliti Islam dari Inggris.
Pendapat itu dikemukakan oleh Yunahar saat menjawab pertanyaan dari peneliti di Oxford Centre of Islamic Studies, Dr Kevin Fogg, tentang perbedaan Islam di Indonesia berbeda dengan Islam di Timur Tengah. “Apa yang membuat Islam di Indonesia, terutama Muhammadiyah dan NU, berbeda dengan Islam di Timur Tengah?” tanyanya dalam diskusi “The Dynamics of Islamic Ideology in Indonesia” bersama mahasiswa dan akademisi Oxford University, Inggris (5/4).
Jawaban Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini memang di luar dugaan para akademisi Oxford University. “Islam di Indonesia beda dengan Islam di Timur Tengah karena satu hal, yaitu Islam di sini (baca: Indonesia) bisa ketawa. Kita bisa beda pendapat dalam banyak hal, tapi di luar bisa ketawa-ketawa bareng,” begitu jawab Yunahar.
(Baca: Spring Gathering Muslim Indonesia di Inggris Raya, dan Perkuat Sinergi Muhammadiyah-KBRI Inggris)
Apakah jawaban Yunahar serius atau bercanda, karena dia sering menyelipkan humor dalam ceramah, tapi yang jelas para hadirin yang datang menampakkan muka serius mendengar jawaban itu. Komentar Kevin Fogg juga cukup serius. “Ini jawaban yang luar biasa dan insight / masukan baru bagi kami. Saya pribadi akan datang ke Indonesia untuk meneliti ini lebih lanjut,” ungkap Kevin Fogg.
Islam tertawa ini diperdalam Yunahar dengan uraian tentang keragaman ideologi Islam di Indonesia. Secara teologis, tambah guru besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) ini, Islam di Indonesia termasuk kategori ahlu sunnah wal jamaah walaupun ada berbagai perbedaan maupun pendekatan.
Misalnya di sisi fiqh, Nahdlatul Ulama (NU) bisa disebut sebagai penganut fiqh mazhabi, cenderung patuh pada mazhab tertentu, terutama Syafii. “Sementara Muhammadiyah tidak bermazhab atau lebih tepat disebut manhaji. Bukan otomatis patuh pada produk mazhab tertentu, tetapi lebih mengambil metodologinya untuk memahami al-Quran dan Sunnah.
Diskusi dengan para akademisi Oxford University, di Balliol College, ini dilakukan di sela-sela kunjungan Prof Yunahar Ilyas dan Sekretaris PP Muhammadiyah Dr Agung Danarto ke Inggris. Diskusi membahas ketertarikan lembaga pusat penelitian di Oxford tersebut untuk mengetahui bagaimana visi dan sistem pendidikan Muhammadiyah serta bagaimana Oxford University dan Muhammadiyah bisa melakukan kerjasama. (unang mulkhan)