PWMU.CO – Akhir abad 19 dan awal abad 20 adalah masa politik etis pemerintah kolonial Belanda. Masa di mana pemerintah kolonial melakukan pencitraan demi mengambil hati rakyat Hindia Belanda. Salah satu bentuk politik etis yaitu pendirian rumah sakit oleh pemerintah kolonial dengan tata kelola sesuai budaya dan agama pemerintah.
Muhammadiyah yang hadir pada awal abad 20 dengan misi pencerahan nilai-nilai Islam dan antipemurtadan merasa perlu berpartisipasi dalam layanan kesehatan umat. Hadji Sjudja’ salah satu qiyadah assabuqunal awwalun Persyarikatan resah dengan banyak hadirnya rumah sakit di Yogyakarta tanpa konsep Islam dalam tata kelolanya.
Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) dihadirkan sebagai wasilah dakwah bil hal bidang kesehatan dengan menerapkan prinsip syariat Islam. Alakulihal selanjutnya bidang layanan kesehatan berdasarkan syariat Islam menjadi sayap dakwah bil hal andalan Persyarikatan bersama dengan penyelenggaraan pendidikan modern.
Tren milenial di mana segala hal diberi label syariah termasuk rumah sakit, hakekatnya bagian dari bangkitnya ghirah keislaman masyarakat sebagaimana yang cita-cita Persyarikatan. Qiyadhah-qiyadhah Muhammadiyah berperan penting dalam terbitnya Fatwa No.107/DSN-MUI/X/2016 tentang Rumah Sakit Syariah di antaranya Prof Dr Yunahar Ilyas sebagai Wakil Ketua MUI dan Dr Anwar Abbas sebagai Sekretaris Umum MUI.
Kompetensi Muhammadiyah dalam penyelenggaraan layanan kesehatan Islami tidak perlu diragukan lagi. Hadirnya fatwa tentang rumah sakit syariah bukan kehendak MUI, di mana sebagian masyarakat masih menganggap MUI sebagai majelis pengobral fatwa.
Sebagaimana fatwa-fatwa lainnya, fatwa tentang rumah sakit merupakan permintaan dari masyarakat penyelenggara jasa pelayanan kesehatan. Masyarakat dalam hal ini adalah Majelis Upaya Kesehatan Islam Seluruh Indonesia, yang mengajukan fatwa tentang rumah sakit syariah pada tahun 2015 dengan Nomor 084/MKS/VI/2015 tanggal 29 Juni 2015.
Fatwa yang kemudian terbit pada 29 Dzulhijjah 1413H/1 Oktober 2016 disambut antusias pelaku jasa layanan kesehatan termasuk amal usaha Muhammadiyah kesehatan (AUM Kesehatan) .
Terbukti dalam International Islamic Healthcare Conference & Expo di Jakarta tanggal 10-12 April 2018 AUMKes mencatat quatrick. Mereka adalah RSM Lamongan, RS PKU Wonosobo, RS PKU Yogyakarta dan RSI Jakarta mendapat Sertifikat Syariah dari Majelis Ulama Indonesia.
Sertifikat Syariah bagi AUM Kesehatan sebenarnya ibarat menggarami air laut, di mana character dan amanat pendiriannya selaras dengan prinsip dan nilai-nilai Islam. Namun demikian Sertifikat Syariah ini ibarat pengesahan akad nikah yang telah sesuai syariah dengan penyerahan buku nikah dari penyelenggara negara.
Sertifikat Syariah menunjukkan bahwa prinsip syariah telah menjadi habit dalam penyelenggaraan AUM Kesehatan di mana aktivitasnya telah lulus mumtaz berdasarkan Maqasid Al Syariah Al Islamiyah.
Menurut Imam Syatibi Maqasid Al Syariah Al Islamiyah meliputi hifdz ad-diin (memelihara agama), hifdz an-nafs (menjaga jiwa), hifdz an-nasl (menjaga keturunan), hifdz al-Aql (menjaga akal) dan hifdz al-maal (menjaga harta).
Dalam fatwa itu mewajibkan obat, makanan, minuman, kosmetika bersertifikat halal. Juga wajib menggunakan lembaga keuangan syariah dalam transaksi keuangan. Dan memiliki panduan pengelolaan zakat, infak, shadaqah dan waqaf.
Barakallah semoga semua AUM Kesehatan yang telah akad nikah sesuai syariah akan dengan mudah memperoleh buku nikahnya sebagai pengakuan administratif.
Sertifikat Syariah sebagai nilai tambah AUM Kesehatan dalam era milenial, bukan beban melainkan spirit berkemajuan dalam meningkatkan kualitas mutu layanan, profesionalisme manajemen dan akhlaqul karimah. (*)
Opini oleh Prima Mar iKristanto, MPKU PDM Lamongan