PWMU.CO-Menjalankan Ramadhan tahun ini harus lebih baik dari tahun kemarin. Itu target ideal bagi orang beriman. Termasuk dalam hal kesehatan.
Demikian dr Tjatur Prijambodo MKes mengawali kultum Subuh di Masjid An-Nur Muhammadiyah Sidoarjo, Jumat (18/5/2018).
“Apa beda lapar orang berpuasa dengan lapar orang tidak berpuasa?” tanya Direktur Rumah Sakit Aisyiyah Siti Fatimah Tulangan ini dari atas mimbar.
Lapar karena berpuasa dalam bahasa Inggris disebut fasting, ujarnya. Lapar tidak puasa disebut starfashion. Secara penyebutan dalam bahasa Inggris itu sudah beda. “Pembedanya adalah ada niat ingin mendapatkan ridho Allah. Implikasinya kesehatan seseorang akan membaik akibat lapar karena puasa,” papar anggota Majelis PKU PWM Jatim ini.
Dia bercerita kisah Panglima Iskandar Zulkarnaen saat memimpin pasukan yang hendak melewati sungai dalam perjalanan malam. Zulkarnaen berpesan kepada prajuritnya agar saat menyeberang sungai jika menginjak sesuatu ambillah.
Atas perintah ini sikap prajuritnya terpecah jadi tiga kelompok. Kelompok pertama ogah-ogahan. Saat lewat sungai tidak mau mengambil sesuatu yang diinjak. Kelompok kedua semaunya. Kadang diambil kadang tidak. Kelompok ketiga taat perintah komandan. Setiap melangkah jika menginjak sesuatu, apa yang diinjak diambil. Bahkan bekalnya dikorbankan untuk membawa barang yang diinjak.
Ketika pagi semua barang bawaan diminta dibuka. Ternyata barang yang diambil di sungai tadi adalah berlian. Maka menyesallah prajurit yang tak mau taat perintah komandan.
“Ibarat puasa itu seperti pasukan Iskandar Zulkarnaen dan kesehatan adalah intan berlian, maka kelompok satu tidak dapat apa-apa,kelompok dua dapat tapi ala kadarnya. Sedangkan kelompok tiga mendapatkan bekal kesehatan dan kenikmatan dari puasa,” papar dokter Tjatur.
Menurut dia, ada beberapa kesalahan yang biasa terjadi pada orang berpuasa. Pertama, mindset puasa adalah lapar, maka sahurnya pasti kekenyangan. Padahal fungsi makan itu ada tiga. Pertama, hayat, hanya cukup untuk menegakkan tulang belakang atau bertahan hidup. Kedua, kifayah, seperti contoh Rasulullah, isi lambung sepertiga makanan, sepertiga air, sepertiga udara. Makan sesudah lapar dan berhenti sebelum kenyang. Ketiga, fudlah, berlebihan.
“Jika makan melebihi sepertiga lambung, efeknya lambung tidak bisa mencerna dengan baik, akibatnya sisa makanan menghasilkan asam. Asam itu korosif dan menggores lambung,” tegas mantan Direktur Jamkesmas Jatim ini.
Kesalahan kedua, setelah shalat Subuh tidur. Padahal pada saat tidur aktivitas lambung jadi turun, proses pencernaan tidak sempurna. Terjadi proses fermentasi, menghasilkan asam, asam menggores lambung.
Kesalahan ketiga, waktu berbuka balas dendam. Sudah benar buka dengan tiga kurma. Menjadi salah jika disambung dengan tahu isi, ote-ote, rawon, es campur, dan makanan lainnya. Padahal setelah lambung istirahat sepuluh jam, maka tidak bisa langsung bekerja berat.
Dijelaskan, Prof Yosimori dari Jepang menyatakan, saat orang berpuasa terjadi autofagi di lambung. Sel-sel yang sudah rusak di lambung dimakan, kemudian timbul epitel baru yang mengembalikan fungsi sel. “Setelah lambung istirahat selama sepuluh jam, maka dia siap mencerna makanan yang ringan untuk dicerna. Contohnya kurma, karena kurma itu monosakarida, maka sangat mudah dicerna, lambung bekerja tidak berat,” kata dia menerangkan.
Masa transisi antara berbuka kurma dengan makan, sambung dia, sekitar 30 menit. ”Saat itu lambung siap menerima makanan berat. Silakan sikat kolak, ote-ote, lemper, nasi, tapi jangan sampai kekenyangan,” pungkas dokter Tjatur. (Ernam)