PWMU.CO – Sebut saja namanya Abdul Ghaffar, seorang yang baru saja googling tentang shalat Jum’at di internet. Setelah membaca berbagai “referensi sepintas” itu, dia menanyakan dalil setelah shalat Jum’at tidak perlu shalat Dzuhur?
Sebab, menurutnya, shalat lima waktu itu wajib ‘ain. Sementara shalat Jum’at adalah fardlu kifayah, yang dibuktikan dengan ketidakwajiban orang sakit, wanita dan hamba sahaya. Sementara untuk shalat lima waktu, tidak boleh ditawar-tawar lagi. Apakah mungkin shalat Jum’at yang kadarnya lebih ringan bisa menggugurkan shalat fardlu yang lebih tinggi?
Menjawab pertanyaan sebagaimana yang dikemukakan Abdul Ghaffar ini, almarhum KH Mu’ammal Hamidy pernah menuliskannya secara lengkap dalam buku “Islam dalam Kehidupan Keseharian”. Masalah Jum’atan tidak bisa menggantikan shalat Dzuhur ini dari seorang kiai di Jombang dalam buku “Majma’al Bahrain”, dengan berlandaskan dua dalil yang dianggap cukup. Dalil pertama adalah hadits Nabi saw:
أَنَّ اللَّهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ
Artinya: Sesungguhnya Allah mewajibkan shalat lima kali sehari semalam kepada mereka (kaum muslimin) (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas)
Kedua, ayat al-Qur’an surat al-Jumu’ah ayat 9:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Artinya: Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. (QS al-Jum’at: 9).
“Dengan beberapa uraian dan penjelasan, kiai itu berpendapat bahwa shalat Jum’at itu berdiri sendiri, sedang shalat lima waktu juga berdiri sendiri,” tulis Mu’ammal.
Padahal, jelas Mu’ammal, para ulama, termasuk para Imam Madzhab, –dan itulah yang kemudian menjadi ijma’ — bahwa ayat 9 surat al-Jumu’ah itu dijadikan sebagai takhsis (mengecualian) bagi hadits Ibnu Abbas tersebut. “Dasarnya ialah tidak dijumpai satu pun keterangan sesudah shalat Jum’at ada shalat Dzuhur,” terang Mu’ammal.
Sedang menurut kaidah fiqhiyah dikatakan: ta’khirul bayaan ‘anil haajah laa yajuuz (menangguhkan keterangan di saat sedang dibutuhkan itu tidak boleh). “Kalau ada shalat Dzuhur sesudah Jum’at, pasti dari sekian banyak sahabat, ada yang mengerjakannya. Yang kita tahu, begitu usai shalat Jum’at mereka — walaupun tidak semua — shalat dua atau empat rakaat ba’diyah di masjid maupun di rumah,” tegas Mu’ammal.
Bahkan ayat 10 surat al-Jumu’ah mengatakan sebagai berikut:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
Artinya: Apabila usai shalat Jum’at, maka bertebaranlah kamu di muka bumi untuk mencari anugerah Allah… (QS al-Jumu’ah: 10)
Itulah yang dipahami dan yang dilakukan oleh para ulama terdahulu, hingga para imam, yang berarti mutawatir. Dalam disiplin ilmu, berita yang mutawatir itu dapat dijadikan hujjah sebagai kebenaran mutlak. “Layaknya praktik shalat yang kita lakukan sekarang ini adalah mutawatir dan merupakan kebenaran mutlak. Sehingga yang melakukan lain dari itu, berarti salah,” terang Mu’ammal.
Kalau dikatakan Jum’atan itu fardlu kifayah karena ternyata ada beberapa orang yang tidak diwajibkan, maka pengertian ini jelas tidak benar. Karena yang dimaksud dengan fardlu kifayah adalah “cukup dikerjakan seorang, selainnya gugur”. “Sedang dalam shalat Jum’at ini harus dilakukan semua orang, kecuali yang udzur: hamba sahaya, wanita, dan orang sakit,” terang Mu’ammal.
Karena kesalahan kesimpulan itu, maka anggapan shalat Jum’at di bawah shalat Dzuhur itu tidak benar. Shalat Jum’at dan Dzuhur adalah setingkat. Katakanlah, “tidak setingkat” dan kemudian Jum’atan menggugurkan Dzuhur, maka hal itu dalam fiqih Islam tidak juga aneh. Karena ada amalan yang lebih rendah bisa menggugurkan yang lebih tinggi: shalat Id pada hari Jum’at. Jika seseorang sudah shalat Id, dia tidak perlu lagi shalat Jum’at. Ini ditegaskan oleh Nabi saw sendiri sebagai yang berwenang. Hadits yang dimaksud adalah berikut:
عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِي رَمْلَةَ الشَّامِيِّ قَالَ : شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ قَالَ أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَكَيْفَ صَنَعَ قَالَ صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ
Artinya: Dari Iyas ibn Abi Ramlah: Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam: Apakah engkau menyaksikan bersama Rasulullah saw dua Id bertepatan pada satu hari? Zaid menjawab: Ya. Mu’awiyah bertanya lagi: Bagaimana yang beliau lakukan? Zaid menjawab: Beliau mengerjakan shalat Id kemudian memberikan rukhshah (keringanan) untuk shalat Jum’at. Beliau mengatakan barang siapa yang hendak mengerjakan shalat (Jum’at), maka silakan mengerjakan shalat (Jum’at). (HR Abu Daud)
Yang harus dicatat, Mu’ammal mengingatkan, memahami ayat dan hadits harus memakai kaidah, tidak cukup hanya dengan akal pikiran. Kaidah ini sekalipun buatan ulama dan juga berorientasi pikiran, namun telah disepakati oleh para ahlinya sehingga dapat dikategorikan ijma’. “Sedang ijma’ harus pula dijadikan salah satu dasar ber-Islam selain al-Qur’an, hadits, dan qiyas,” simpulnya.
Sudah jelas, bukan? (redaksi)