PWMU.CO – Kalau lagi “mampir ngantor” di kampus 2 Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), biasanya pagi hari sekitar setengah tujuh, terkadang aku dapat hantaran dua cangkir kopi sekaligus. Aku sesekali bertanya ihwal kopi yang bisa langsung “double cup” itu, kok bisa sebanyak itu? Oh yang satu dari si Anu, yang satunya lagi dari si Anu.
Karena sampai tulisan ini dibuat aku masih merangkap sebagai Wakil Direktur Pascasarjana, tentu juga ketua Pusat Studi Agama dan Multikulturalusme (PUSAM), aku berusaha singgah walau sebentar di kampus 1. Satpam yang paham betul ritual pagiku, menawarkan kopi.
Mendapat tawaran kopi, apalagi ditambah embel-embel hitam,sejatinya tak kuasa mengelak. Tetapi karena waktunya hanya dalam hitungan beberapa menit saja, maka tanpa mengurangi rasa takzimku kepada kawan satpam, aku menampiknya tentu dengan sentuhan kesantunan Jawa yang lembut nan “basah”. “Suwun yo mas, saya terburu-buru.”
(Baca: Ketika Profesor Turun Gunung Mengajar Siswa Kelas IV SD serta Ka’bah dan Doa Aneh Umar bin Khattab)
Biasanya kalimat seperti itu yang kusampaikan kepada satpam. Caraku meminum kopi lumayan berkarakter. Aku minum sedikit demi sedikit kopi itu, sambil menikmati aktivitas lainnya. Ritual pagiku di pasca, selain menikmati kopi, aku baca koran sambil ngobrol dengan staf “security” dan juga dengan dosen. Biasanya dengan Pak Jatmiko, wakil direktur 2. Hanya secangkir kopi, aku membutuhkan waktu berjam-jam. Atas pertimbangan sempitnya durasi waktu itulah, akhir-akhir ini aku selalu menampik tawaran minum kopi di kampus 1.
Biasanya aku betul-betul bisa menikmati minum kopi sejalan dengan karakterku jika aku berada di empat ruang. Pertama, ruang kelas. Kalau aku hadir di kelas, lalu pada salah satu tanganku tidak terlihat kopi, mereka langsung menginterupsi. “Prof, kopinya mana?” Kalimat interuptif ini tentu dilatarbelakangi kelazimanku mengajar sambil “nyangking” kopi. Silahkan dibayangkan suasana mengajar sambil beberapa kali “nyeruput” kopi.
(Baca: Dua Versi Pandangan tentang Arah Kiblat, Anda Pilih Mana? dan Satu Tanggal Satu di Bumi yang Satu: Catatan Penulis Buku ‘Ayat-Ayat Semesta’ soal Kalender Hijriyah Global)
Kedua, kalau di ruang kerja. Kawan-kawan admin di kampus 3 kini telah paham betul kelazimanku. Mahasiswi partimer biasanya datang ke ruanganku menawarkan kopi. “Kopi hitam dan tidak terlalu manis, ya pak.” “Ah, kamu sudah paham seleraku, nduk,” jawabku. Bekerja sambil sesekali “nyeruput” kopi, wow gimana gitu.
Ketiga, warung kopi baik dalam konotasi tradisional maupun modern. Terkadang aku mengajak mahasiswa bimbinganku ke warung kopi. Yang paling sering adalah mahasiswa doktoral, tetapi harus dipastikan berjenis kelamin sama denganku. Ada keasyikan tersendiri ngobrol seputar isi disertasi sambil menikmati pahit-manisnya kopi. Siapa yang menyelesaikan tagihan di warung kopi? Aku!
(Baca: Alphard, Mobilitas Dakwah, dan Muhammadiyah Madura, serta Menyoal Status Hukum Minum Kopi Luwak)
Lalu ruang yang keempat, tentu rumahku terutama di ruang kerjaku. Tidak ada penyeduh dan penyaji kopi yang paling kutunggu di ruang ini, kecuali isteriku. Aku paling menyukai momen begini: “Ayah pingin ngopi ya?” Siapa yang kuasa menolak mendapat tawaran seperti itu, apalagi diperkuat dengan nada yang lembut.
Sejak tiga bulan ini aku memilih berkompromi dengan isteriku. Sebelumnya aku lebih suka menyendiri di perpustakaanku sampai larut, bahkan dini hari. Belakangan aku mendesain ulang kamar utama menjadi ruang kerja yang lebih memungkinkanku bekerja tanpa harus meninggalkan isteriku sendirian, kala diriku larut bersama tumpukan buku. Kletek, kletek, kletek….Ini juga momen yang kusukai. Bunyi ini pertanda isteriku membawa kopi hitam selepas subuh.
(Baca juga: Belajar dari Abu Nawas dan Penjual Sate dan Meraih Kemabruran Haji)
Masa lalu adalah pembentuk kebiasaanku penyuka kopi. Sungguh beruntung kebiasaan yang kurawat hingga kini, tidak perlu ditambah dengan kebiasaan merokok. Padahal abahku penyuka kopi plus perokok berat. Apakah kebiasaan ini mengait dengan profesinya sebagai ahli bangunan. Harap dicatat, kalimat ini sekedar memperhalus profesi abahku sebagai tukang bangunan, sebelum beralih profesi sebagai pedagang yang diselingi bertani.
Aku sering diajak abahku kalau dapat garapan bangun atau setidaknya memugar rumah. Nah, saat break, atau orang Madura menyebutnya dengan “laot”, ayah memungkasi istirahat siangnya dengan memelinting rokok. Selain peralatan bangunan, abahku selalu membawa tembakau plus kertasnya. Kopi? Pemilik rumah yang menyediakannya pada saat pagi, siang, dan sore.
Selanjutnya “Tradisi Merokok di Madura” halaman 2…