PWMU.CO – Politik adalah bidang kehidupan berbangsa dan bernegara yang penting. Termasuk dalam mengembangkan dakwah. Demikian disampaikan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Nadjib Hamid MSi dalam Tabligh Akbar di Masjid Ki Ageng Gribig Madyopuro, Kedung Kandang, Kota Malang, (19/8).
Nadjib mengatakan tidak ada satu pun persoalan ini tidak terkait dengan kebijakan politik. Karena itu, Nadjib mengaku heran jika ada pihak tertentu yang menganjurkan larangan berbicara politik di dalam masjid. “Makanya sangat aneh bila ada larangan berbicara terkait politik di masjid,” ujar Nadjib keheranan di depan 200-an jamaah yang memadati masjid.
Dengan berseloroh, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dari Provinsi Jawa Timur ini, banyak keanehan yang muncul jika politik menjadi barang haram dibicarakan di masjid. “Artinya kita tidak boleh membaca beberapa doa yang termaktub dalam al-Quran. Karena doa ini mengandung unsur politik,” sambungnya sambil mengutip dua doa yang dimaksud
Doa yang pertama adalah, Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyatinaa qurrata a’yun, waj’ alnaa lil muttaqaina imama. Arti dari ayat 74 al-Quran Surat al-Furqan itu adalah, Wahai Robb kami, karuniakanlah pada kami dan keturunan kami serta istri-istri kami penyejuk mata kami. Jadikanlah pula kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa.
Doa yang kedua adalah, Allahumma maalikal mulki tu’til mulka man tasyaa-u wa tanzi’ul mulka mimman tasyaa-u wa tu’izzu man tasyaa-u wa tudzillu man tasyaa-u biyadikal khairu innaka ‘alaa kulli syain qadir.
Terjemahan dari QS Ali Imron ayat 26 itu, “Wahai Tuhan yang mempunyai kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada
orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari orang yang
Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan.
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Nadjib menjelaskan dua doa itu dengan himbauan tidak membicarakan politik di masjid merupakan paradoksal sebuah strategi komunikasi. “Satu sisi membatasi masjid sebagai ruang publik, tapi pada sisi yang lain justru melakukan presure atau menekan partisipasi politik umat Islam,” tandas Nadjib.
Pria yang tinggal di kota Surabaya itu mengatakan adanya larangan bicara politik di masjid itu menunjukkan adanya design menutup ruang gerak bidang dakwah. Nadjib lantas mencontohkan adanya kebijakan hanya 200 Muballigh yang direkomendasikan oleh Kementerian Agama. “Saya berceramah di sini berarti illegal karena tidak masuk dalam 200 daftar itu,” gurau Nadjib yang disambut gerrr jamaah.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua LPCR PWM Jatim, Nugraha Hadi Kusuma, mengamini pernyataan Nadjib Hamid itu. “Kebijakan-kebijakan seperti yang disebutkan pak Nadjib tadi menjadikan pemerintah tidak mendapat simpati dari umat Islam,” ujarnya.
“Berbagai persoalan itu bisa dijadikan pembelajaran ke depan bagaimana sebuah rezim harus berkomunikasi dengan lebih baik pada umat Islam. Jangan lagi menjadikan Islamphobia menjadi kebijakan politik,” tegas Nugraha. (uzlifah)