PWMU.CO – Pekan ini saya diberi kesempatan melihat Lombok dari dekat bersama rombongan “Forum Peduli Bangsa” yang terdiri dari para kiai, akademisi, dan pengusaha Muslim Jawa Timur.
Rombongan dipimpin oleh almukaram KH Mahfud Syaubari, Pimpinan Ponpes Riyadhul Jannah, Pacet, Mojokerto. Hari pertama kami menemui Bupati Lombok Tengah TG Suhaely lalu langsung ke Sembalun di Lombok Timur.
Di sini kami berkunjung ke Posko Santri Tanggap Bencana (Santana) pimpinan Gus Hafiz dari Sumber Pendidikan Mental Agama Allah (SPMAA) Lamongan. Lalu mampir ke Pancor menemui Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Bajang Zainul Majdi.
Hari kedua kami meninjau Lombok Barat kemudian ke Lombok Utara menemui KH Abdul Karim Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Bayan. Lalu kami mampir ke Posko Santri Pondok Pesantren Riyadhul Jannah di Dusun Gumantar.
Kemudian saat balik menuju Mataram, kami mampir menemui Bupati Lombok Utara TG Najmul Achyar. Hari ketiga saya berkesempatan berdiskusi dengan Dr Muhammad Ali dkk di LPPM Universitas Mataram. Kemudian usai shalat Jumat diskusi dengan Pimpian Wilayah Muhammadiyah (PWM) NTB di Universitas Muhammadiyah Mataram (UMMat).
Di kedua kampus itu saya menyarankan agar segera dibentuk Pusat Studi Bencana dan Lingkungan.
Selama di Lombok ini saya difasilitasi oleh Gus Yusuf Misbach dari Ponpes Riyadhul Jannah dan Ustadz Zulkipli dari Pondok Pesantren Hidayatullah yang mendukung Posko ITS di Lombok.
Dari pengamatan lapangan dan berdialog dengan para pengungsi, relawan, para kepala daerah, dan akademisi, saya berani mengambil kesimpulan bahwa masyarakat dan pemerintah kurang waspada dan kurang siap menghadapi bencana gempa bumi kali ini.
Kepemimpinan sipil dalam merespon kedaruratan belum siap sehingga masih mengandalkan kepemimpinan militer.
Rencana Tanggap Darurat atau Rencana Kontinjensi Komunitas, ataupun dokumen Awareness and Preparedness for Emergency at Local Level (APELL) sebagai platform untuk mewujudkan respon terkoordinasi yang menjadi kunci menghadapi kondisi darurat belum sempat disusun bersama di berbagai tingkat.
Dengan tetap menghargai dan menghormati atas semua ikhtiar pemerintah, masyarakat, para relawan dan aparat, harus dikatakan bahwa respon kedaruratan telah dilakukan secara reaktif, bisa jauh lebih efektif, dan bisa jauh lebih efisien hingga memasuki pekan ke-6 sejak gempa besar pertama terjadi di akhir bulan Juli 2018.
Rupanya bencana gempa dan tsunami di NAD lebih satu dekade yang lalu belum cukup menjadi pelajaran bagi banyak daerah, termasuk Lombok, untuk menyiapkan diri menghadapi bencana gempa bumi.
Kerugian sementara yang telah dihitung mencapai hampir Rp 9 triliun sebagian karena banyak fasilitas publik yang hancur, dan ribuan rumah yang hancur, sementara kegiatan ekonomi yang melambat kalau bukan berhenti.
Diperkirakan, Lombok harus mulai membangun kembali from zero if not minus points.
Dalam beberapa diskusi di antara para Kyai, akademisi, dan pengusaha Muslim Jatim dengan Gubernur NTB dan para Bupati di Lombok, bencana gempa bumi ini tidak bisa dibaca tanpa intervensi langit.
Sebagian mengatakan bahwa bencana ini adalah adzab dari Tuhan Allah SWT, sebagian lagi sebagai ujian bagi orang-orang beriman. Sementara itu, Dr Falahudin, Ketua PWM NTB mengatakan bahwa Fiqh Kebencanaan Muhammadiyah tidak tegas mengkategorikan bencana gempa bumi ini antara adzab atau ujian dari Tuhan.
Sementara itu Rektor UMMat Arsyad Ghani menginformasikan bahwa relawan Muhammadiyah Disaster Management Centre (MDMC) sudah hadir sejak hari pertama bencana.
Lepas dari fiqh kebencanaan itu, sorotan tajam diarahkan pada arah pengembangan pariwisata Lombok yang secara resmi dinyatakan sebagai kawasan wisata syariah, tapi dalam praktik jauh dari prinsip-prinsip syariah.
Praktik-praktik wisata hitam justru banyak terjadi di destinasi-destinasi wisata terkenal di Gili Trawangan dan sekitarnya, serta lereng gunung Rinjani di Lombok Utara. Beberapa akademisi bahkan menentang keras pendekatan pariwisata dalam pembangunan ekonomi Lombok yang telah mengganggu identitas budaya daerah yang islami.
Menutup tulisan ini, saya teringat saat di rumah Bupati Lombok Utara, Dr Habib Ali Zainal Abidin Bilfaqih mengemukakan bahwa bencana Lombok harus dijadikan sebagai sarana bagi umat Islam bisa bersatu dalam mendukung saudara-saudara Muslim di Lombok untuk move on dengan semangat membangun kembali A New Lombok.
Lombok baru di masa depan perlu lebih melibatkan masjid sebagai pusat peradabannya dengan lebih bertumpu pada potensi agro-maritim yang melimpah. Pariwisata tidak boleh menjadi sektor penghela ekonomi, tapi sebagai sektor ekonomi pelengkap. (*)
Gunung Anyar, 15 September 2018.
Kolom oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya.