PWMU.CO – Seperti peluang, bencana hanya bisa dikelola oleh mereka yang siap. Menengok Aceh beberapa tahun lalu, kemudian Lombok dan Sulawesi Tengah beberapa hari ini, masyarakat dan pemerintah ternyata tidak waspada, apalagi siap menghadapi bencana.
Padahal kesiapan itu adalah modal pokok untuk melakukan respons terkoordinasi sebagai kunci menghadapi bencana sebagai keadaan darurat. Kesiapan itu ditunjukkan oleh adanya rencana tanggap darurat yang sudah disosialisasikan dan dilatihkan sebelum bencana terjadi.
Tanpa itu, maka yang terjadi kemudian adalah ketidaktanggapan bencana, tanpa kepemimpinan, lalu bencana justru berbuah kekacauan, bahkan penjarahan.
Mengapa tidak waspada? Karena masyarakat tidak belajar, hanya sibuk bersekolah dan bekerja. Sekolah dengan obsesinya pada mutu dan standard yang dirumuskan secara top-down and outside-in, seringkali justru menghambat proses belajar.
Belajar seharusnya lebih mengutamakan relevansi, bottom-up and inside-out. Ki Hadjar mengatakan bahwa tujuan belajar adalah untuk menumbuhkan kebebasan, jiwa merdeka. Sekolah seringkali justru menimbulkan ketergantungan, sekaligus mengasingkan anak dari dirinya sendiri serta lingkungannya.
Obsesi pada kerja, sibuk mengulang-ulang normalitas yang terbakukan, akan melalaikan kita untuk menyiapkan diri dalam kondisi kedaruratan yang abnormal. Padahal salah satu tujuan belajar yang terpenting adalah untuk menyiapkan diri menghadapi ketidakpastian dan ketidakjelasan yang dibawa masa depan.
Kewaspadaan mensyaratkan keakraban dengan lingkungan terdekat kita sehari-hari di mana kita hidup. Belajar adalah proses meningkatkan kewaspadaan melalui memaknai pengalaman mengakrabi lingkungan sekitar kita itu. Salah satu hasil dari proses belajar itu adalah pengetahuan, ilmu, dan teknologi.
Proses interaksi manusia dengan lingkungan material akan membuahkan teknologi, yaitu sebuah sistem kemampuan menciptakan nilai atau manfaat. Teknologi tidak tercipta dalam ruang vakum, tapi dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik dalam ruang dan waktu tertentu.
Teknologi yang dilahirkan melalui keakraban manusia dengan lingkungannya akan menghasilkan teknologi yang konvivial. Konvivial berarti ramah dan mengakar (friendly and embedded). Teknologi konvivial mendorong kreativitas dalam menciptakan kebebasan dan keadilan (freedom and justice).
Bencana justru bisa timbul saat kita mencangkok teknologi yang tidak mendorong kreativitas, menimbulkan ketergantungan, dan menjauhkan kita dari keadilan, namun hanya menambah produksi material bendawi semata.
Produksi material ini sering hanya untuk memuaskan nafsu konsumtif karena keinginan yang tak mengenal batas. Sibuk bekerja tentu boleh, tapi lupa belajar telah terbukti berakibat fatal. Apalagi sibuk bekerja meningkatkan produksi material hanya untuk mengikuti syahwat perut.
Syahwat perut yang tak pernah terpuaskan akan mengantar kita pada pencarian kepuasan syahwat bawah perut. Ini adalah buah dari pemanfaatan teknologi yang tidak menciptakan kebebasan dan keadilan.
Kewaspadaan memerlukan proses pembelajaran yang menekankan relevansi, bukan mutu, apalagi mutu berstandard internasional. Waspada berarti sadar diri dan lingkungannya, serta Allah Tuhan Sang Pencipta.
Bencana telah meluluhlantakkan Palu dan sekitarnya. Namun bencana yang lebih besar senantiasa diam-diam mengancam kita: lalai untuk belajar agar eling lan waspada, terlalu sibuk bersekolah dan bekerja. (*)
Sukolilo, 2 Oktober 2018
Kolom oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar OTS Surabaya.