PWMU.CO – Kita ini memang pasien terbaik IMF (International Monetary Fund). Sejak sakit parah, kolaps, anfal, dan nyaris mati pada krismon 1998, sampai sekarang 20 tahun kemudian, Indonesia masih tetap setia menjadi pasien IMF.
Padahal, resep yang dicekokkan ke mulut kita ya resep yang itu-itu saja, tidak ada yang baru. Resep itu terbukti tidak mempan menyembuhkan penyakit Indonesia, tapi anehya kita tetap dengan penuh tawaduk menelannya tiga kali sehari tanpa pernah membantah.
Lucunya—atau tidak lucunya—tetangga-tetangga kiri kanan kita, yang juga sama-sama ketularan sakit pada pada 1998, sudah terlebih dahulu sehat walafiat dan berlari kencang meninggalkan kita. Para tetangga itu, Malaysia dan Thailand, resepnya cuma satu: menolak resep IMF.
Mahathir Mohammad dengan tegas mengatakan “Go to Hell with Your Aids“. Demikian pula Thailand yang lebih memilih untuk tidak tidak sepenuhnya menyerah kepada IMF.
Harusnya, seruan Go to Hell itu diteriakkan di Indonesia, bukan di Malaysia, karena teriakan itu asli punya Bung Karno. Tapi, ternyata Mahathir, The Little Soekarno, yang mewarisinya dan dengan lantang meneriakkannya.
Mahathir juga berteriak keras memekikkan tantangan Bung Karno, “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis”.
Si Soekarno Kecil tidak pernah takut menghadapi gertakan Amerika dan Inggris yang nota bene adalah tuannya Malaysia di kumpulan Negara-Negara Persemakmuran (Commonwealth Countris).
Malaysia memilih jalannya sendiri, sementara Indonesia memilih manut kepada IMF. Dan, bagi kita yang cukup umur untuk menyaksikan peristiwa 20 tahun silam, tentu masih ingat betapa kita sebagai bangsa dipermalukan di depan panggung dunia.
Saat itu Presidem Soeharto dipaksa untuk menandatangani pakta perjanjian dengan IMF. Pak Harto tertunduk menandatangani pakta di depan Presiden Michel Camdessus yang bersidekap dengan jumawa seperti gubernur jenderal VOC berkacak pinggang di depan raja Jawa yang takluk menyerah.
Kita ini memang pasien terbaik IMF.
Krisis moneter 20 tahun yang lalu sudah tidak terlihat sama sekali bekas lukanya di tetangga sebelah. Tapi, di Indonesia krisis ekonomi merantak menjalar menjadi krisis politik, yang membongkar sendi-sendi bernegara kita sampai ke pondasi yang paling dalam.
Sampai sekarang, 20 tahun kemudian, krisis itu tak pernah benar-benar selesai, dan bahkan terlihat indikasi akan semakin parah. Lucunya—atau tidak lucunya (lagi)—sekarang ini, 20 tahun berselang, kita menghadapi kondisi yang hampir-hampir mirip dengan krismon 1998.
Dan, lagi-lagi, kita dengan penuh kebanggaan mengundang IMF sebagai tamu agung dengan menyiapkan karpet merah dan jamuan super mewah menghabiskan dana hampir satu triliun.
Sungguh sulit membayangkan, bagaimana Pak Mahathir, tetangga kita, tidak tertawa terpingkal-terpingkal sampai terguling-guling menyaksikan kedunguan kita ini.
Mahathir tahu persis resep IMF yang ditawarkan ke Indonesia sama persis dengan resep 20 yang lalu. Ibarat pepatah Inggris, “Di mata mereka yang pegang palu, segala sesuatu terlihat seperti paku”. Ibarat montir yang memegang kunci inggris yang menganggap segala sesuatu bisa dibuka dengan kunci itu.
Itulah IMF, si pemegang palu dan kunci inggris, semua masalah dianggap seperti paku yang dengan mudah digetok sampai amblas.
Kita ini memang pasien setia IMF.
Kita tahu ingredients resep IMF adalah “Washington Consensus” mazhab neo-liberal dengan mantra utama liberalisasi pasar, privatisasi, dan hands up economy yang mengandalkan keajaiban invisible hand.
Kenyataannya invisible hand itu tetap invisible, tidak pernah kunjung kelihatan.
Neo-loberalisme hanya laku di negara-negara berbahasa Inggris dan sudah lama dibuang di tong sampah oleh negara-negara Eropa. Bahkan, di tempat kelahirannya sendiri di Amerika, neo-liberalisme ditolak keras.
Prof. Joseph E. Stiglitz penasihat ekonomi di masa Presiden Clinton adalah salah satu pengritik paling keras IMF. IMF bersama Bank Dunia dan WTO (World Trade Organization) adalah “Tiga Serangkai yang Tidak Suci” (Unholy Trinity) yang ingin mengontrol dunia.
Ketiga lembaga itu menjadi pengontrol globalisasi yang oleh Stilitz dianggap salah arah. Tidak ada level playing field, yang adalah lapangan dan aturan yang mereka buat untuk kepentingan mereka sendiri.
Lembaga-lembaga ini muncul pascakemenangan di Perang Dunia Kedua dengan membagi-bagi wilayah kekuasaan dunia, dan memperlakukannya sebagai negara jajahan baru.
Mereka bagi-bagi kekuasaan, IMF menjadi hak Eropa dan World Bank menjadi hak Amerika. Presiden IMF selalu dari Eropa dan presiden World Bank dari Amerika. Bertiga mereka bersama WTO ingin mendikte ekonomi dunia.
Mereka ini adalah para dinosaurus dunia yang nyaris punah karena tidak menyadari (atau pura-pura tidak menyadari) telah terjadi, meminjam Rhenald Kasali, “Great Shifting” dalam tata-kelola dunia baru.
Pemain-pemain lama itu masih hidup di masa silam. Masih merasa besar dengan kekuatannya di masa silam, dan gagal paham mengenai perubahan platform ekonomi dunia. Mereka lupa bahwa dinosaurus punah bukan karena lemah, tapi karena gagal beradaptasi dengan platform dunia baru.
Kita ini memang pasien setia IMF.
Kalau resep yang diberikan 20 tahun yang lalu tidak bisa menyembuhkan sakit kita, mengapa kita masih keukeuh mengundang dokter yang sama?
Mikir! Kata Cak Lontong. (*)
Kolom oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior.