PWMU.CO – Juminto, anak kedua dari tiga bersaudara, lahir di Desa Mrayan, Kecamatan Ngrayun, Kabupaten Ponorogo. Anak dari desa yang berbatasan dengan Kabupaten Pacitan ini memiliki cita-cita menjadi seorang dalang kondang dengan dukungan ayahnya.
Akan tetapi, kecelakaan kerja yang merenggut jiwa sang ayah, mengubah arah hidup dan cita-cita anak yang biasa dipanggil Minto ini. Dia harus berpikir keras untuk memenuhi kebutuhan hidup membantu sang ibu. Cita-citanya menjadi seorang dalang dan pelestari kebudayaan semakin pudar.
Apalagi melihat keadaan lingkungan sekitar yang ternyata masih sangat jauh dengan pemahaman ilmu keagamaan mempengaruhi pola pikir Minto, yang akhirnya mengantarkan dia untuk menuntut ilmu ke Panti Terpadu Tunanetra Aisyiyah Ponorogo.
Kisah di atas adalah petikan sinopsis perjalanan hidup Juminto yang difilmkan dan diproduksi oleh Lembaga Seni Budaya dan Olahraga (LSBO) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Ponorogo bekerja sama dengan Alisya Computer Multimedia (ACM) Pacitan.
Menurut Agus Koco, pimpinan produksi film yang berjudul “Matahari di Garis Batas” ini dilatarbelakangi oleh keinginan LSBO PDM Ponorogo membuat produksi kreatif yang mengandung misi dakwah Muhammadiyah.
“Kami memandang produksi film di era sekarang tidak hanya berorientasi pada nilai budaya dan hiburan tetapi bisa dikemas dalam rangka membawa misi-misi tertentu. Tentunya di Muhammadiyah adalah misi dakwah,” ujar Mas Agus—begitu biasa dipanggil.
Dengan semangat mencoba dan belajar, Agus Sukoco yang juga Ketua LSBO PDM Ponorogo ini berharap produksi perdana film ini bisa mewarnai dunia dakwah yang lebih menarik dan berkesan.
Anggaran yang sangat minim memaksa Agus Sukoco berpikir bagaimana semua rangkaian produksi film bisa berjalan sangat efektif. “Kita memutuskan membuat narasi film dengan acuan biografi seseorang agar tidak terlalu lama dalam membuat alur cerita,” terangnya.
Agus mengaku Juminto terpilih setelah melalui berbagai kajian dan diskusi. “Kita memilih sosok Juminto karena dia salah satu figur anak muda Muhammadiyah yang memiliki semangat berdakwah luar biasa di Ponorogo.”
Dalam proses pembuatan film ini, selain melibatkan LSBO PDM Ponorogo dan crew ACM juga warga Dusun Ketro Tulakan Pacitan di mana Juminto tinggal. “Penggalian cerita bertemu langsung dengan Juminto berlangsung lima kali pertemuan. Dari situ kita mulai menyusun skenario dan mencari pemeran,” aku Agus.
Pemeran utama dalam film mimpi kecil Juminto adalah Idzhar Dwi Saputro sebagai Juminto kecil, Andri Stiawan sebagai Juminto dewasa, Hariyanti sebagai Eris Hermawati (istri Juminto). Sementara Ali Mustofa, Pimpinan ACM bertugas sebagai narator dan sutradara.
Kepada PWMU.CO, Rabu (14/11/18) Agus juga menjelaskan titik lokasi shoting yaitu: rumah Juminto, SD Ketro Tulakan Pacitan, Puskesmas Pembantu Kecamatan Tulakan Pacitan, Panti Terpadu Tunanetra Aisyiyah Ponorogo, dan kampus Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
Sementara, ujar Mas Agus, proses syuting berlangsung dua pekan, (18-30/9/2018). “Pekan pertama proses shooting utama, dan pekanke dua proses syuting penyempurnaan.”
Ada beberapa kendala yang dihadapi dalam pembuatan film ini. Salah satunya menurut dia adalah karena sebagian besar aktor belum pernah terlibat dalam pembuatan film. “Lokasi yang sangat jauh dan berada di daerah pegunungan juga menjadi kendala tersendiri dalam proses pembuatan film,” terang Agus.
Agus memastikan film Matahari di Garis Batas akan dilaunching bersamaan dengan resepsi Milad Muhammadiyah ke-106 yang akan digelar di Gedung Kesenian Kabupaten Ponorogo, 20 Nopember 2018 mendatang.
Sementara itu saat dihubungi PWMU.CO lewat WhattAps, Rabu, (14/11/18) Juminto mengaku sedikit kaget karena kisahnya dipilih LSBO PDM Ponorogo untuk di filmkan.
“Sebenarnya saya punya cita-cita memfilmkan perjalanan ini 10 tahun lagi, barangkali kisah ini bermanfaat untuk generasi muda. Dan saya sampaikan itu kepada Mas Agus Sukoco setahun yang lalu,” akunya.
Juminto mengaku dihubungi Agus Sukoco beberapa bulan yang lalu dan diberitahu bahwa kisahnya akan difilmkan. “Kami merasa belum siap dan merasa perjuangan kami belum seberapa dibanding tokoh Muhammadiyah di Ponorogo yang lain. Namun dari PDM mengaku memiliki pertimbangan lain, akhirnya saya setuju.”
Dikisahkan, dari Panti Terpadu Tunanetra ‘Aisyiyah Ponorogo inilah banyak mengubah pola pikir Minto muda tentang kehidupan yang harus ia jalani. Keadaan yang serba terbatas tidak membuat dia patah semangat dan justru memberi banyak pencerahan-pencerahan dan gagasan baru.
Keinginannya yang kuat untuk mengabdikan apa yang telah ia dapatkan di panti tentang ilmu ke-Islaman terhadap masyarakat di kampung halaman, mengantarkannya bertemu dengan Eris Hermawati, seorang perempuan cantik asal Sooko, yang kemudian ia pinang, meskipun banyak yang menentangnya, karena masalah ekonomi.
Sebuah keputusan yang berdampak besar dan memberikan motivasi untuk semakin kuat berjuang. Dia bersama sang istri, yang mengamalkan ilmu yang telah ia dapatkan selama di panti di sebuah TPA di kampung halamannya, mendapatkan reaksi yang kontra dengan apa yang dia harapkan, banyak masyarakat yang menentang.
Berkat dukungan sang istri, ia tak patah berjuang, mereka berusaha dengan segenap keikhlasan, yang akhirnya tahap demi tahap berbuah manis. Hingga, TPA kecil yang mereka rintis, berkembang menjadi sebuah Pondok Pesantren bernama Bidayatus Salam (Bisa).
Dari film ini, Juminto berharap bisa menginspirasi anak muda. Empat pesan Juminto di akhir perbincangan dengan PWMU.CO. Pertama, dalam berdakwah kita harus sabar dalam menghadapi tantangan dakwah, baik internal maupun external.
“Kedua, berdakwah itu memberikan pemahaman kepada masyarakat agar berfikir berkemajuan, serta saling menerima perbedaan faham dalam keagamaan,” papar dia.
Pesan Juminto yang ketiga, berani keluar dri zona nyaman, mengawali dari 0 persen perjuangan. Dan pesan terakhir Juminto dalam film ini adalah membangun gerakan “Mulih nang Ndeso (kembali ke desa).” (Arifah)