PWMU.CO – Dalam tawshiyah-nya pada awal 2019 dalam Executive Gathering Kementrian Keuangan RI, Dr Yudi Latief menegaskan peran penting birokrasi dalam membangun sebuah negara-bangsa. Peran penting birokrasi itu telah dibuktikan oleh Pemerintah RI di bawah Bung Karno, yang di tengah-tengah keterbatasan anggaran, pada 1955 mampu melakukan inovasi sehingga berhasil sukses melaksanakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung, sekaligus Pemilu pertama yang kemudian dicatat sebagai Pemilu paling demokratis dalam sejarah Indonesia modern. Kita tahu bahwa KAA di Bandung itu telah menginspirasikan gelombang kemerdekaan negara-negara bangsa di Asia dan Afrika.
Kang Yudi mengatakan bahwa birokrasi adalah pilar keempat demokrasi, bukan media massa. Dibutuhkan birokrasi yang dengan diam-diam tetap menekuni pelayanan publik dalam hingar bingar kehidupan politik agar negara bangsa dapat tumbuh secara sehat mengemban tugas melindungi segenap tumpah darah tanah air, mencerdaskan kehidupan bangsa, membangun kesejahteraan umum dan ikut menciptakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam era pemerintahan saat ini, saya melihat gejala yang makin kuat pada pelemahan etos pelayanan publik oleh kita. Program reformasi birokrasi boleh dikatakan mengalami stagnasi. Rekrutmen aparat sipil negara (ASN) masih menyisakan banyak masalah di daerah-daerah otonom. Promosi jabatan tidak berlangsung secara meritokratik namun secara transaksional yang dipicu oleh biaya politik lokal yang mahal.
Misi utama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di lingkungan birokrasi, terutama dalam kejaksaan, kehakiman, dan kepolisian, masih belum dapat diwujudkan secara meyakinkan. Kepolisian sebagai unsur birokrasi bersenjata sering terlibat dalam kasus yang menunjukkan bahwa hukum tajam ke pihak tertentu namun tumpul ke pihak lainnya.
Kasus Novel Baswedan yang hingga kini belum jelas adalah bukti paling nyata. Penjelasan pemerintah selalu panjang dan berbelit. Birokrasi, terutama kepolisian, mudah terjerumus dalam kepentingan politik praktis lokal lalu dengan mudah mengorbankan kebebasan sipil yang penting untuk membangun masyarakat demokratis bagi sebuah negara bangsa.
Hemat saya, untuk kontestasi politik yang cenderung tidak fair seperti saat ini, dalam perspektif konstitusi itulah netralitas ASn perlu dipahami: bukan netralitas tanpa panduan dan bebas-nilai, tapi kesadaran untuk tetap setia pada tujuan-tujuan konstitusi, siapapun pemerintah yang berkuasa.
Bahkan netralitas konstitusional ini makin penting bagi birokrasi penegakan hukum agar berlaku rule of law bukan rule by law. Oleh karena itu, terutama kepolisian sebagai unsur birokrasi bersenjata, yang tidak setia pada konstitusi, terlibat politik yang intimidatif, perlu dikoreksi secara tegas. Saat anggota parlemen banyak disandera kasus hukum, media massa sudah dibeli, organisasi-organisasi massa dan tokoh-tokohnya sudah dibungkam, maka ASN sebagai pilar demokrasi yang masih memiliki akal sehat, terutama di perguruan tinggi sebagai benteng moral terakhir, perlu menegaskan kembali kesetiaannya pada cita-cita konstitusi, bukan malah diam membisu “netral”.
Langkah korektif ini semoga menjadi bantahan atas analisis Thomas Power yang menengarai sikap pemerintah yang makin otoriter seiring dengan penurunan mutu demokrasi kita. (*)
Kolom oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya