
PWMU.CO – Akademi Mubalighah Nasyiatul Aisyiyah Jawa Timur yang bertajuk Mubalighah dalam Dakwah Moderat dan Berkeadilan Gender digelar secara hybrid, Rabu-Ahad (19-23/03/2025). Kegiatan ini diikuti sejumlah 37 peserta dari berbagai daerah se-Jawa Timur.
Materi daring pertama membahas Pengantar Manhaj Tarjih sebagai bekal peserta memahami berbagai metode ketarjihan dalam Muhammadiyah.
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Qaem Aula Syahid MAg yang merupakan mengawali penjelasan dengan menerangkan sejarah dan faktor munculnya Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.
Alumni sekaligus pengajar Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta ini pun menginformasikan bahwa tugas utama Majelis Tarjih adalah memberikan bimbingan kepada warga Muhammadiyah dan umat Islam sesuai dengan al-Quran dan Sunnah.
Selain itu, Qaem merinci beberapa semangat/perspektif tarjih, yaitu wawasan paham agama, wawasan tajdid yang terdiri atas dinamisasi dan purifikasi, wawasan toleransi, keterbukaan, dan tidak berafiliasi dengan madzhab tertentu.
“Salah satu wawasan yang digunakan Majelis Tarjih adalah toleransi. Seperti toleransi terhadap pemahaman lain di luar Muhammadiyah. Misalnya, shalat tarawih lebih dari 11 rakaat bukanlah sesuatu yang salah. Muhammadiyah tetap menghormati bahwa metode pengambilan pendapatnya lah yang berbeda,” jelasnya.
Alumni Magister Ilmu al-Quran dan Hadis UIN Suka Yogyakarta ini pun menjelaskan bahwa Majelis Tarjih tidak berafiliasi pada madzhab tertentu.
“Muhammadiyah bukan tidak menghargai imam-imam madzhab. Muhammadiyah juga menyaringnya menjadi salah satu metode. Diambil yang sesuai dengan kemaslahatan. Bukan pula tidak mengakui intelektualitas madzhab, namun tidak menggantungkan pada satu madzhab,” lanjutnya.
Aplikasi metode manhaj dalam fatwa tentang perempuan terdiri atas nilai dasar, prinsip umum, dan hukum praktis. “Misalnya, menghukumi hadits ‘Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.’ Majelis Tarjih lebih dulu memandang nilai-nilai dasarnya. Sesungguhnya perempuan dan laki-laki setara derajatnya di hadapan Allah, juga sama-sama memiliki karamah insaniyah,” jelasnya.
“Kemudian dalam prinsip umumnya, sama-sama sebagai hamba Allah yang punya potensi melakukan kebaikan dan menjadi khalifah. Perlu juga melihat konteks hadits di atas merupakan kisah kerajaan Persia yang akan menyerahkan kepemimpinannya pada perempuan yang kurang pengetahuan dan pengalaman,” lanjut dosen Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta ini.
“Sedangkan pada zaman sekarang sudah banyak wanita yang memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai urusan tersebut, maka bisa dimaknai bahwa perempuan dengan pengetahuan dan pengalaman boleh menjadi pemimpin,” tambahnya.
Qaem juga menanggapi pertanyaan Ayunda Nuraini Fiddaris terkait hukum pemakaian cadar. Ia menjelaskan bahwa aturan berpakaian adalah tidak ketat, tidak transparan, menutupi batasan aurat yang ditentukan dalam dalil. Yang terjadi khilafiyah di kalangan ulama adalah sampai mana batasan aurat perempuan. Ada yang mengatakan bahwa suara juga aurat.
“Dalam Fatwa Tarjih 2019 Majelis Tarjih menyebutkan bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Dengan mengumpulkan berbagai dalil, termasuk kisah shahabiyah di masa nabi,” jawabnya.
“Dikisahkan bahwa para sahabat dengan sahabat lain saling melihat wajah. Adapun cadar dianggap sebagai keterpengaruhan budaya sebagai manifestasi kepatuhan hamba pada syariat,” jelas Qaem.(*)
Penulis Erfin Editor Zahrah Khairani Karim


0 Tanggapan
Empty Comments