Search
Menu
Mode Gelap

Belajar dari Pertinax

Belajar dari Pertinax
Zainal Arifin Emka
Oleh : Zainal Arifin Emka Wartawan Tua, Pengajar Jurnalistik
pwmu.co -

Putri Elok ditegur kepala sekolah melalui  seorang Satpam karena membawa mobil ke sekolah. Sesuatu yang  dilarang.

Peristiwa yang kemudian menjadi perbincangan hangat di media sosial ini akhirnya sampai juga ke telinga Wali Kota Prabubalik, Ahwan, yang merupakan ayah Putri.

Ahwan segera mendatangi Kepala Sekolah, Rudi Romansyah, di ruang kerjanya.  Wali kota menyatakan penyesalan atas kelakukan anaknya telah melanggar aturan sekolah. Ia minta maaf.

“Saya tidak mau kelakuan anak saya menjadi contoh tidak baik bagi siswa-siswa SMP lainnya,” kata Ahwan.

Kunjungan sang wali kota ke sekolah itu juga disambut hangat para siswa. Peristiwa itu pun menyebar luas di media sosial. Semua bernada memuji tindakan elegan Pak Wali.

Berita Khayalan

Mohon dimaklumi, berita itu khayalan dan harapan saya semata. Terinspirasi peristiwa nyata di Prabumulih yang melibatkan bapak yang wali kota dan anaknya. Isu ini menarik perhatian publik karena menyoroti penyalahgunaan kekuasaan.

Teguran Kepala Sekolah, Roni Ardiansyah terhadap anak sang wali kota yang diduga membawa mobil ke sekolah, berujung dicopotnya Roni dari jabatannya oleh sang wali.

Tindakan ini kemudian memicu kemarahan publik. Setelah mendapat sorotan luas dan intervensi dari berbagai pihak, termasuk Kemendagri, pencopotan pun dibatalkan.

Sudah banyak peristiwa tingkah polah anak yang menyeret nama baik atau mengungkap nama buruk orang tuanya.

Peristiwa itu mengingatkan kita pada ungkapan Jawa: “Anak polah bapa kepradah”. Segala polah perbuatan anak akan menimbulkan dampak yang harus ditanggung orangtuanya.

Gigitan rasa malu, beban bathin, dan dampak lainnya. Bisa positif, sedihnya bila negatif. Menekankan betapa orang tua akan selalu disangkutpautkan dengan perilaku anaknya.

Ada kasus menggemparkan tentang anak seorang pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan. Ia dituduh melakukan penganiayaan brutal terhadap Cristalino David Ozora.

David mengalami luka parah dan koma. Kasus ini kemudian juga mengungkap gaya hidup mewah sang anak yang tidak sesuai dengan profil kekayaan ayahnya.

Peristiwa itu berujung pada pemecatan sang bapak dari jabatannya. Buntutnya, penyelidikan harta kekayaannya oleh KPK, dan vonis berat untuk si anak. Kasus ini menjadi simbol betapa arogansi dan penyalahgunaan kekuasaan pejabat bisa berdampak fatal.

Kasus-kasus ini mengirimkan pesan kepada kita tentang perlunya pengawasan ketat terhadap perilaku anak. Terutama yang sering menggunakan posisi orang tuanya untuk bertindak serampangan. Sekaligus pengingat bagi pejabat untuk menjadi teladan baik bagi anak.

Menolak Gelar

Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip sepenggal kisah yang ditulis wartawan senior, Edhy Aruman, dalam Jam 6 Teng. Dari kisah ini kita bisa memetik pelajaran tentang orang tua yang tidak hanya memberi teladan, tapi menjadi teladan itu sendiri.

Begini kisahnya:

Iklan Landscape UM SURABAYA

Tepuk tangan bergemuruh di Forum Romanum saat Senat dengan suara bulat memilih seorang lelaki tua, jujur, dan berwibawa untuk menjadi Kaisar.

Ia bukan bangsawan besar, bukan anak kaisar sebelumnya, melainkan anak dari seorang mantan budak yang meniti hidupnya melalui kerja keras dan kehormatan.

Nama lelaki itu: Publius Helvius Pertinax.

Kita tahu – lewat gambar-gambar sejarah Romawi — forum Romanum itu sejenis plaza persegi yang dikelilingi oleh sejumlah bangunan pemerintahan kuno di pusat kota Roma.

Selama berabad-abad, tempat ini menjadi pusat kehidupan masyarakat Romawi: tempat prosesi kemenangan dan pemilihan umum; tempat pidato umum, pengadilan kriminal, dan pertandingan gladiator; dan inti dari segala aktivitas perdagangan.

Pertinax dipilih dan diumumkan menggantikan Kaisar Commodus yang kejam dan banyak sensasi. Kaisar itu banyak bohongnya daripada kerja nyata.

Saat menerima tongkat kekaisaran, Pertinax berdiri sejenak di depan para senator, lalu menatap langit seolah mencari restu dari para dewa—atau mungkin dari suara hati nuraninya sendiri.

“Aku tidak mencari kekuasaan,” katanya pelan, nyaris berbisik, “tapi jika tak ada yang tersisa untuk menyelamatkan negeri ini kecuali seorang tua yang sudah lelah namun masih jujur, maka biarlah aku berdiri di sini.”

Pertinax mengutuk warisan Commodus. Bukan dengan kata-kata hinaan, tapi dengan menampilkan kontras. Keadilan menggantikan ketakutan, kesederhanaan melawan kemewahan, kebajikan menyaingi kebusukan.

Hari-hari awal pemerintahannya bagai embun pagi setelah malam panjang yang penuh badai. Rakyat Roma, terbiasa dengan kekacauan dan kekejaman Kaisar Commodus, nyaris tak percaya ketika mendengar kabar-kabar ini: pajak dikurangi, budak-budak dibebaskan, para tahanan politik dipulihkan kehormatannya.

Pertinax mengembalikan seluruh kekayaan pribadinya kepada istri dan putranya. Katanya, dengan kekayaan itu, istri dan anak-anaknya tidak boleh memiliki alasan untuk menggantungkan keuntungan pada negara.

Ia menolak gelar Augusta bagi istrinya dan Caesar bagi putranya, serta mendidik anaknya dalam kesederhanaan yang keras—bukan sebagai pewaris tahta, tapi sebagai murid kehidupan.
Ketika seorang penasihat memprotes, Pertinax menjawab dengan lirih:

“Jika aku ajarkan anakku kekuasaan sebelum ia tahu kesederhanaan, maka aku sedang menciptakan Commodus kedua.” Luar biasa ya.

Publius Helvius Pertinax setahu saya bukan wong Jowo. Namun pernyataannya mengingatkan kita pada ungkapan: “Anak polah bapa kepradah”.

Gigitan rasa malu, beban bathin, dan dampak lainnya. Bisa positif, sedihnya bila negatif. Menekankan betapa orang tua akan selalu disangkutpautkan dengan perilaku anaknya.

Semua orang pingin belajar dari pengalaman. Syukur kalau bisa belajar cukup dari kesalahan  orang lain. Sopir yang baik tidak harus menabrak besi pembatas jalan tol dulu kan, untuk belajar bahwa nyerobot di jalur bahu jalan itu berisiko.

Publius Helvius Pertinax tidak memberi teladan. Ia menjadi teladan. Ia adalah teladan itu sendiri!  (*)

Iklan pmb sbda 2025 26

0 Tanggapan

Empty Comments