Oleh: Erniawati, M.Pd
Guru MTs Muhammadiyah 15 Lamongan–Al Mizan
Bullying adalah luka yang tidak selalu terlihat. Ia bisa terjadi di ruang kelas, tempat kerja, bahkan di dalam rumah. Banyak orang mengira bullying adalah masalah yang terbatas pada anak-anak sekolah atau remaja, atau bahwa korban biasanya berasal dari latar belakang tertentu.
Namun, kenyataannya, bullying tidak mengenal usia, jenis kelamin, atau lingkungan. Ia bisa menimpa siapa saja dan dilakukan oleh siapa saja.
Akar masalahnya bukan pada faktor biologis atau geografis, melainkan pada pola pikir, rendahnya toleransi, dan kurangnya sikap saling menghargai.
Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2023 menunjukkan bahwa kasus perundungan tidak hanya dialami oleh anak-anak sekolah.
Terdapat laporan signifikan tentang perundungan di dunia kerja (workplace bullying), bahkan pada orang yang sudah berusia di atas 40 tahun. Bentuknya pun bervariasi, mulai dari intimidasi verbal, pengucilan sosial, hingga sabotase pekerjaan.
Bullying juga tidak mengenal jenis kelamin. Korban bisa laki-laki atau perempuan, begitu pula pelakunya. Di media, kasus seperti perundungan di sekolah elit di Jakarta yang melibatkan siswi perempuan terhadap temannya membuktikan bahwa pelaku tidak selalu laki-laki yang bertubuh besar atau “kuat”. Hal ini menegaskan bahwa masalahnya bukan soal fisik, tetapi soal cara berpikir dan pola interaksi sosial.
Lingkungan Bukan Satu-satunya Faktor
Memang benar, lingkungan dapat mempengaruhi perilaku. Lingkungan yang keras atau permisif terhadap kekerasan cenderung memunculkan perilaku bullying.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan, bahkan di lingkungan yang relatif aman dan terdidik, perundungan tetap terjadi.
Penelitian dari UNESCO (2021) menunjukkan bahwa 32% pelajar di negara-negara dengan indeks pendidikan tinggi masih mengalami perundungan secara rutin.
Artinya, masalah utamanya tidak semata-mata pada di mana seseorang tinggal atau belajar, melainkan pada nilai dan pemahaman yang ia bawa dalam pikirannya.
Orang yang dibesarkan di lingkungan “nyaman” pun bisa menjadi pelaku bullying jika ia tidak dilatih untuk memiliki empati dan menghargai orang lain.
Akar Masalah: Pola Pikir, Toleransi, dan Rasa Hormat
1. Pola Pikir yang Salah tentang Kekuasaan
Banyak pelaku bullying memiliki keyakinan bahwa kekuatan fisik, status sosial, atau jabatan memberi mereka hak untuk mengendalikan atau merendahkan orang lain. Pola pikir ini sering terbentuk dari contoh yang mereka lihat — bisa dari keluarga, figur publik, atau budaya populer yang mengagungkan dominasi.
2. Rendahnya Toleransi terhadap Perbedaan
Perbedaan fisik, keyakinan, latar belakang, atau preferensi sering menjadi pemicu bullying. Pelaku merasa tidak nyaman atau terancam oleh sesuatu yang “tidak sama” dengan dirinya, lalu meresponsnya dengan agresi atau ejekan. Dalam masyarakat yang kurang menanamkan nilai toleransi sejak dini, perilaku ini tumbuh subur.
3. Kurangnya Saling Menghargai
Menghargai orang lain berarti mengakui hak mereka untuk menjadi diri sendiri. Sayangnya, banyak orang melihat perbedaan sebagai kelemahan, bukan keberagaman yang perlu dihormati. Di sinilah bullying mendapat “panggung” — ketika rasa hormat hilang, ruang untuk merendahkan orang lain terbuka lebar.
Bukti Nyata: Kasus-Kasus yang Melintasi Batas
- Kasus Audrey di Pontianak (2019) — korban adalah siswi SMP yang di-bully secara fisik dan verbal oleh siswi SMA. Kedua belah pihak adalah perempuan, dan berasal dari lingkungan perkotaan. Kasus ini viral dan memicu gerakan #JusticeForAudrey, membuktikan bahwa bullying tidak mengenal usia atau gender.
- Bullying di Dunia Kerja — survei JobStreet Indonesia (2022) menemukan bahwa 55% pekerja mengaku pernah mengalami perilaku intimidasi di kantor, mulai dari pelecehan verbal hingga pengucilan. Banyak korban berusia matang, dengan latar pendidikan tinggi.
- Kasus Perundungan di Sekolah Elit Jakarta (2024) — terjadi di lingkungan yang dianggap “terdidik”, membuktikan bahwa faktor ekonomi atau status sosial tidak menjadi jaminan bebas dari perilaku ini.
Ketiga contoh ini menegaskan: masalahnya bukan pada kategori biologis atau lokasi geografis, tetapi pada nilai dan sikap yang dibawa setiap individu.
Menghukum pelaku bullying memang perlu, tetapi tidak cukup. Tanpa perubahan pola pikir, hukuman hanya akan menimbulkan efek jera sementara, bukan menghilangkan akar masalah. Pemerintah, sekolah, tempat kerja, dan keluarga perlu fokus pada tiga langkah utama:
1. Edukasi Empati Sejak Dini
Anak-anak harus dilatih memahami perasaan orang lain, bukan sekadar diberi tahu bahwa “bullying itu salah”. Pendidikan karakter harus konkret: memberi pengalaman langsung bagaimana rasanya diperlakukan tidak adil, dan mengapa itu melukai.
2. Menanamkan Toleransi sebagai Kebiasaan
Toleransi tidak cukup diajarkan di buku PPKn atau pelajaran agama. Ia harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah dan tempat kerja harus menjadi ruang aman bagi perbedaan, di mana keberagaman dilihat sebagai kekuatan.
3. Budaya Menghargai di Semua Level
Rasa hormat tidak boleh hanya diberikan kepada atasan atau orang yang kita sukai. Ia harus menjadi standar interaksi di semua level — baik anak kepada teman, pegawai kepada rekan, maupun atasan kepada bawahan. Budaya saling menghargai ini perlu dicontohkan oleh figur publik dan pemimpin.
Kenapa Perspektif Ini Penting?
Jika kita terus menganggap bullying sebagai masalah “anak-anak” atau “lingkungan buruk”, kita akan menutup mata pada fakta bahwa pelaku bisa datang dari mana saja, bahkan dari orang yang kita anggap terdidik atau dewasa.
Lebih berbahaya lagi, pandangan sempit ini membuat korban di luar stereotip — seperti pekerja kantoran atau orang dewasa — merasa tidak diakui penderitaannya.
Melihat bullying sebagai masalah pemikiran dan nilai membuat kita bisa menyerangnya di sumbernya. Kita tidak hanya menunggu korban berikutnya muncul untuk ditangani; kita bisa membangun generasi yang lebih sadar dan menghargai orang lain.
Kesimpulan
Bullying adalah cerminan dari cara kita memandang orang lain. Selama masih ada orang yang melihat perbedaan sebagai ancaman, kekuasaan sebagai hak untuk menindas, dan rasa hormat sebagai sesuatu yang bisa dinegosiasikan, selama itu pula bullying akan terus hidup — di sekolah, di kantor, bahkan di rumah.
Maka, melawan bullying berarti melawan pola pikir yang salah. Ia berarti menanamkan toleransi dan rasa hormat di setiap interaksi. Usia, jenis kelamin, atau lingkungan memang bisa menjadi latar, tapi bukan inti cerita.
Intinya adalah: manusia yang berpikir, menilai, dan bertindak. Dan di situlah kita bisa mulai berubah. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments