Di setiap pagi yang masih basah oleh embun, saya selalu teringat bahwa profesi guru bukan sekadar pekerjaan rutin yang dimulai dengan bunyi bel. Ada sosok yang datang lebih dulu dari matahari—guru yang tidak hanya membawa langkah pelan, tetapi juga membawa kegelisahan untuk terus menyalakan cahaya bagi anak-anak yang masih belajar menemukan arah masa depannya.
Dalam banyak kesempatan, saya melihat bahwa guru profesional yang benar-benar diidamkan siswa bukanlah yang hanya fasih menjelaskan materi, tetapi yang mampu mendengarkan dengan hati. Ada kekuatan dari tatapan yang meyakinkan siswa bahwa mereka tidak berjalan sendirian.
Bagi saya, pelajaran yang diberikan guru sesungguhnya bukan hanya rangkaian bab dalam buku. Pelajaran itu adalah jendela ke dunia yang lebih luas. Kata-kata guru sering kali lembut, tetapi mampu menggetarkan, membuat baris-baris tulisan di papan menjadi jalan kecil yang menuntun siswa mengenali dirinya sendiri.
Di tangan seorang guru yang penuh dedikasi, matematika dapat berubah menjadi logika kehidupan, bahasa menjadi jembatan rasa, dan setiap ilmu menjadi pelita yang menuntun perjalanan panjang seorang anak.
Ketegasan Guru
Ketegasan seorang guru pun sering kali disalahpahami. Padahal, ketegasan itu sesungguhnya adalah bentuk pelukan yang tidak terlihat—pelukan yang menjaga dan mengarahkan.
Guru mungkin menegur, tetapi tidak untuk melukai; mengingatkan, tetapi tidak untuk merendahkan. Di balik sikap tegas itu ada kasih sayang yang bekerja dalam diam agar siswa tidak tersesat dalam pilihan-pilihan hidup yang semakin kompleks.
Saya percaya, guru yang benar-benar mencintai pekerjaannya tidak pernah kehabisan tenaga untuk terus hadir, meski badai sering berseliweran dalam dirinya. Mendidik tidak mengenal jam pulang, karena ia adalah pekerjaan hati.
Begitu pula dengan proses belajar seorang guru. Dunia bergerak cepat, tetapi guru yang hebat tidak berhenti tumbuh. Ia merangkul teknologi dan perubahan, tidak sekadar mengikuti zaman, tetapi menunjukkan teladan bahwa belajar adalah perjalanan yang tidak pernah selesai.
Pada akhirnya, saya yakin bahwa jejak seorang guru tidak ditentukan oleh seberapa jelas suara kapur yang pernah ia gesekkan di papan tulis. Siswa mungkin akan lupa rumus yang dulu dihafalkan bersama-sama atau tanggal penting yang pernah mereka ulang berkali-kali.
Namun mereka tidak akan lupa bagaimana hangatnya perasaan ketika seorang guru mengatakan, “Aku percaya kamu bisa.” Dan di situlah seorang guru dikenang—bukan karena kepintarannya semata, tetapi karena cinta yang pernah ia tanam hingga membuat seorang anak berani bermimpi. (*)


0 Tanggapan
Empty Comments