
Sekelompok anak tengah mengerubungi seorang pemuda berkumis tipis yang mengenakan sorban berbahan kain batik. Mereka mengejek dan mengolok-olok pemuda itu sambil bersorak, “Kyai Kafir… Kyai Kafir… Kyai Kafir…”. Begitulah salah satu penggalan adegan dalam film Sang Pencerah ― besutan sutradara Hanung Bramantyo. Film itu berkisah tentang kehidupan dan perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan — pendiri Persyarikatan Muhammadiyah.
Anak-anak yang mengolok-olok itu adalah anak-anak Kauman ― suatu perkampungan yang terletak di sebelah utara Keraton Ngayogyakarta. Sedangkan pemuda berkumis tipis yang diolok-olok adalah Muhammad Darwis — yang berikutnya terkenal dengan nama Kyai Haji Ahmad Dahlan. Konon, salah satu dari anak-anak yang mengolok-olok itu adalah keponakan Kiai Ahmad Dahlan sendiri yang bernama Ahmad Badawi.
Meskipun merupakan keponakannya sendiri — Ahmad Badawi tidak serta merta mengikuti garis perjuangan ‘uwaknya’ tersebut. Seperti anak-anak Kauman lainnya, ia justru turut dalam menolak gerakan modernisme Islam yang dibawa Kyai Dahlan.
Meski begitu, ketika Kyai Dahlan tengah mengalami sakit keras dan menjelang wafatnya, Ahmad Badawi tiba-tiba datang untuk menjenguknya. Melihat Kyai Dahlan yang terbaring lemah, Ahmad Badawi bertanya, “Apa yang engkau derita pakdhe? Semoga engkau lekas sembuh”.
Kemudian Kyai Dahlan menjawab, “yang kuderita adalah karena memikirkan Muhammadiyah. Kenapa orang semacam kamu belum suka dan berkenan gabung dengan Muhammadiyah”.
“Dulu memang belum. Tetapi sekarang saya telah masuk Muhammadiyah”, jawab Ahmad Badawi berikutnya.
Mendengar perkataan keponakannya itu, legalah hati Kyai Ahmad Dahlan dan terasa menjadi ringan beban sakit yang dideritanya. Perasaan bahagia pendiri Muhammadiyah ini pun terasa begitu besar. Dakwah yang dulu pernah mengalami penolakan dari darah daging saudaranya sendiri, kini justru menerimanya dengan lapang dada dan iman yang teguh. Bahkan di kemudian hari, pada Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta, Kyai Haji Ahmad Badawi terpilih sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965.
***
Ahmad Badawi lahir pada 5 Februari 1902 di Kampung Kauman Yogyakarta. Ia adalah putra Kyai Haji Muhammad Faqih (Kyai Haji Habiburrahman), salah satu Komisaris Perkumpulan Muhammadiyah pada tahun 1912. Dari garis ayah, Ahmad Badawi terhitung keturunan ke-9 Panembahan Senopati, pendiri Dinasti Mataram Islam. Ibunya bernama Nyai Hj Siti Habibah, adik kandung KH Ahmad Dahlan.
Masa muda Ahmad Badawi menghabiskan waktunya untuk belajar dari satu pesantren ke pesantren lain. Ia pernah menimba ilmu di Pesantren Lirap Karanganyar, Pesantren Tremas Pacitan, Pesantren Besuk-Wangkal, Pasuruan, Pesantren Kauman, dan Pesantren Pandean Semarang. Ia juga pernah mengenyam Pendidikan di Standaardschool Muhammadiyah.
Dalam Muhammadiyah, Ahmad Badawi (selanjutnya dipanggil Kyai Haji Ahmad Badawi) tercatat sebagai anggota dengan nomor 8543. Ketika stanbook Muhammadiyah diperbarui era pendudukan Jepang, nomor keanggotaannya berubah menjadi nomor 2, tertanggal 15 Februari 1944.
Kiai Badawi aktif di Muhammadiyah terhitung sejak tahun 1926. Ia pernah menjadi Mubaligh ― guru di Muallimat dan Madrasah di lingkungan Muhammadiyah. Sejak tahun 1927-1962, Kyai Ahmad Badawi selalu terpilih sebagai Wakil Ketua PP Muhammadiyah. Saat Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta, Kyai Ahmad Badawi terpilih sebagai ketua umum PP Muhammadiyah periode 1962-1965.
Ada peristiwa cukup mengejutkan saat Kyai Ahmad Badawi terpilih sebagai Ketua PP Muhammadiyah. Adalah Kyai Haji Raden Hadjid, yang — merupakan murid termuda Kyai Ahmad Dahlan, — bertanya kepadanya. “Apa sikap, pendirian, dan tujuanmu dalam memimpin Muhammadiyah?”, tanya Kyai R Hadjid. Kyai Badawi pun lantas menjawabnya tidak dengan pernyataan. Tetapi beliau menuliskan dengan Bahasa Arab pada selembar kertas. Satu demi satu, poin demi poin ― bukan program kerja, melainkan sumpah hidupnya; Janji kepada Tuhan.
- Saya bersungguh-sungguh dalam beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, utusan-utusanNya, kitab-kitabNya, hari kemudian dan qadla-qadarNya, sampai tidak sedikitpun terselip dengan kepercayaan yang batal dan macam-macam khurafat yang bohong. Dan dalam saya memperkuat iman, yakni aqidah yang teguh sampai tidak ada ragu lagi, bahwa Allah Tuhan yang haq untuk disembah, tiada bandingan dan sekutu baginya. Sesungguhnya surga, neraka, hari pembalasan itu benar-benar ada. Padahal tidak akan mengenai kepada seseorang kecuali dari apa yang dikerjakannya. Sesungguhnya Allah itu Maha Pemberi Rizki, Penyayang, Pengasih Pengampun, Pemaksa, dan Perkasa. Dan yang demikian adalah aqidahnya orang-orang shaleh terdahulu.
- Saya berbaik sangka kepada Allah, bahwa Dia tidak menyiksa kepada hambaNya yang berjihad (sungguh-sungguh) menurut kadar kemampuannya dalam berbakti kepada-Nya dan kalau bermaksiat lalu segera sungguh-sungguh bertaubat.
- Sebaik-baik amal bagi saya, ialah berdakwah, bertabligh, dan mengajarkan apa yang telah diperintahkan oleh Allah. Menurut panggilan, dakwah, dan ajaran-Nya. Kemudian setelah memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut, memberi pertolongan kepada kerabat-kerabat, tetangga, kawan, dan masyarakat (yang termasuk kewajiban juga).
- Saya berdoa siang dan malam kepada Allah memohon petunjuk kepada jalan yang lurus dan memohon pertolongan untuk melaksanakan segala yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan yang dilarang oleh-Nya. Begitu juga memohon Taufiq dalam kebenaran.
- Dan dari kesemuanya itu, senantiasa diriku berjihad untuk berniat Ikhlas dan memohon keridlaan Allah.
Tulisan Kyai Badawi ini bukan sekadar catatan. Ini adalah ikrar ― manifesto batin yang ditulis dengan keimanan. Surat cinta kepada Tuhannya dengan medium tanggung jawab.

Usai membaca itu Kyai Hadjid berkata, “Jika demikian, saya setuju, saya mendukung, dan saya bekerjasama dengan saudara Badawi yang saya hargai dan hormati.”
Selama memimpin Muhammadiyah, Kyai Badawi kerap turun/keliling ke daerah-daerah, menyambangi Muhammadiyah di tingkat akar rumput. Meski sering bepergian, Kyai Badawi tak pernah meninggalkan shalat. Ia bahkan pernah shalat di depan loket di sebuah stasiun.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung, Kyai Badawi ditunjuk kembali sebagai wakil ketua. Baru setelah Muktamar ke-37 di Yogyakarta, beliau menjadi penasihat Muhammadiyah hingga menghembuskan nafas terakhir.
Kiai Ahmad Badawi wafat 25 April 1969. Jenazahnya dikebumikan di pemakaman Karangkajen, Yogyakarta, berdampingan dengan pusara KH. Ahmad Dahlan.
Alhasil, kisah Kiai Badawi adalah kisah dakwah yang tidak sia-sia. Menjadi bukti nyata bahwa seorang penolak bisa berubah menjadi pelita. Bahwa ejekan bukan akhir dari cerita. Dan di tangannya, Muhammadiyah tetap menyala―sebagai Gerakan tajdid yang jujur, lurus, dan mengakar.
Kini, sejarah mencatatnya bukan sebagai mantan penentang. Namun sebagai yang menemukan jalan, yang tidak pernah lagi berpaling. Wallahu A’lam. ***
Editor Notonegoro


0 Tanggapan
Empty Comments