
PWMU.CO – Ibadah haji merupakan puncak spiritual dalam Islam, sekaligus simbol dari kesempurnaan perjalanan keberagamaan seorang Muslim. Setiap tahun, jutaan umat dari berbagai bangsa dan warna kulit berkumpul di Tanah Suci. Mereka melintasi sejarah untuk menapaktilasi jejak Nabi Ibrahim AS. Mengingat kembali esensi penciptaan, dan mengikat janji untuk hidup dalam ketundukan total kepada Tuhan.
Namun, di balik kemegahan ritual dan kebersamaan spiritual itu, muncul pertanyaan filosofis yang perlu direnungkan bersama, “apa makna ibadah haji dalam dunia yang carut-marut ini”?
Kita sedang hidup dalam zaman yang penuh paradoks: semakin banyak orang berhaji, namun ketimpangan sosial dan kezaliman struktural, serta kegersangan moral justru kian menganga.
Apakah haji hanya menjadi ritus sakral yang terpisah dari realitas sosial? Atau sejatinya ia adalah panggilan profetik untuk mentransformasikan dunia menuju nilai-nilai Ilahiyah?
Haji sebagai proyek etika
Dalam filsafat moral tindakan manusia dinilai tidak hanya dari intensitasnya, tetapi juga dari pengaruhnya. Ibadah bukan sekedar laku personal-spiritual, tapi juga proyek etika yang melibatkan relasi sosial. Hal ini sejalan dengan prinsip Al-Qur’an yang tidak memisahkan antara iman dan amal saleh.
Ayat ini menegaskan bahwa ibadah, termasuk haji, tidak dapat dipisahkan dari amal kebaikan. Di sinilah letak kesalahpahaman sebagian umat yang menganggap ibadah sebagai urusan vertikal semata, yang selesai di langit tanpa berdampak nyata di bumi.
Dalam pemikiran sosial Ibnu Khaldun, agama memiliki peran sebagai pengikat moral masyarakat. Ritual ibadah seperti haji harus diposisikan sebagai energi kolektif untuk membangun peradaban yang adil dan beradab. Tanpa dimensi sosial itu, agama mudah tergelincir menjadi kosmetik yang menutupi wajah kebusukan.
Krisis simbolisme
Fenomena menyedihkan di era modern ini adalah banalitas spiritual. Yaitu ketika simbol-simbol keagamaan mengalami komodifikasi dan kehilangan daya transformatifnya. Gelar atau status “haji” hanya menjadi sarana untuk mendapatkan prestise sosial tanpa mencerminkan terjadinya perubahan karakter kearah yang lebih baik. Bahkan dalam urusan politik dan birokrasi, gelar ini menjadi semacam “stempel religiusitas” semu.
Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan dari Brasil, menyebut fenomena seperti ini sebagai bentuk “kesalehan yang teralienasi”. Ia menyebutkan bahwa religiusitas yang tidak menyentuh realitas sosial akan melahirkan manusia-manusia pasif, yang sibuk dalam simbolisme tetapi abai pada ketidakadilan.
Fenomena kesalehan teralienasi seringkali kita saksikan. Sebagian mereka sepulang dari Tanah Suci untuk menjalankan ibadah haji, di Tanah Air masih menampakkan karakter menindas, koruptif, bahkan eksploitatif terhadap simbol agama untuk memenuhi syahwat duniawi.
Padahal, secara historis dan teologis, haji dapat menjadi simbol pembebasan. Nabi Ibrahim AS menentang kekuasaan yang Namrud yang dhalim. Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail bukan karena kepasrahan buta, tetapi sebagai bagian dari visi peradaban tauhid: membangun masyarakat yang bertumpu pada penghambaan sejati kepada Allah. Bukan pada penguasa, materi, atau hawa nafsu.
Ibadah haji hakekatnya sebagai panggilan untuk membebaskan diri dari ketergantungan duniawi, dari penghambaan terhadap status sosial, dan dari kekuasaan yang menindas. Istiqamah dalam konteks sosial berarti teguh dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan, bahkan ketika itu berisiko secara politik atau ekonomis. Seorang haji sejati adalah yang kembali ke masyarakat dengan hati yang tergerak dan tangan yang bekerja.
Tantangan dan harapan
Indonesia telah menjadi negeri dengan komunitas jamaah haji terbanyak di dunia. Karena itu tentu memiliki potensi luar biasa dalam membangun wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Tetapi potensi ini tentu tidak akan bermakna apa-apa jika tanpa adanya pembaruan visi “dari haji sebagai ritual tahunan, menjadi haji sebagai gerakan sosial”.
Maka sangat membutuhkan narasi baru, yaitu “haji sebagai kesadaran etis-kolektif”. Jamaah haji harus menjadi pelopor dalam mengedukasi masyarakat, menjadi penggerak ekonomi kerakyatan, penjaga akhlak publik, dan pelindung bagi kaum yang lemah.
Akan menjadi hal yang sangat luar biasa, andai ribuan alumni haji bersatu menginisiasi, misalnya, gerakan kemandirian desa, membidani lahirnya koperasi syariah, mengadvokasi hak petani, atau memperjuangkan akses pendidikan anak-anak miskin. Bukankah ini akan menjadi revolusi spiritual yang nyata?
Dari Makkah ke kampung halaman
Mereka yang usai melaksanakan ibadah haji pada umumnya kembali pulang ke kampung halaman. Tentunya akan lebih berfaedah jika oleh-oleh dari Makkah itu berupa membawa kesadaran, kepekaan, dan tanggung jawab. Jadi bukan hanya membawa status sosial yang berupa gelar “H” di depan namanya.
Karena hakikat haji bukanlah pada jarak yang ditempuh, tetapi pada perubahan yang dibawa. Ia bukan sekadar pertemuan dengan Ka’bah, tetapi pertemuan dengan nurani. Dan ia bukan sekadar prosesi keagamaan, tetapi proklamasi pembebasan. Marilah kita menanyakan pada diri sendiri secara mendalam, “Sudahkah haji kita mengubah cara kita memandang dunia? Sudahkah ia menggerakkan tangan kita untuk memperjuangkan keadilan dan menyalakan lentera harapan di tengah gelapnya zaman? Sudahkah Anda menjadi manusia setelah berhaji?” (*)
Editor Notonegoro


0 Tanggapan
Empty Comments