“Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita“. Lirik lagu Ebiet G. Ade dari radio tua itu mungkin benar.
Bencana alam kini rutin terjadi setiap tahun. Kita tidak mengundangnya, tapi kitalah penyebabnya.
Negeri ini seakan tak pernah kehabisan cara untuk memberi peringatan dan pelajaran tentang akibat dari kreativitas tangan manusia dalam membuat kerusakan.
Berulang kali “ayat suci” dari Al-Quran surat A-Rum 41 dilantunkan “Telah tampak kerusakan di darat dan laut disebabkan perbuatan tangan manusia…”, namun tak lebih dari hiasan bibir tanpa makna, yang tidak sampai menusuk nurani.
Kita seolah sedang berpikir bahwa “manusia” yang dimaksud tidak lebih dari makhluk asing.
Padahal, kitalah pelakunya: yang memberi izin tambang, menebang hutan, tapi ironisnya, juga yang bicara tentang pembangunan berkelanjutan.
Pertanyaannya: “Apakah ayat tersebut masih belum cukup tegas?
Atau memang sebagian orang itu telinganya sudah terkotori oleh gemerincing harta duniawi, sehingga suara alam sudah tidak terdengar lagi?
Hutan rimba yang dulu menjadi ibu bagi kehidupan, kini sebagian dihancurkan demi tanaman sawit yang dinilai lebih menjanjikan keuntungan material.
Sungai yang menjadi urat nadi kehidupan, kini berubah menjadi saluran ‘air mata’ masyarakat yang rumahnya hanyut setiap musim hujan.
Deforestasi dan eksplorasi tambang terus didoktrinkan dengan jargon “demi kepentingan ekonomi” —sebuah mantra sakti yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Mereka, orang-orang yang tersenyum lebar dan terbahak dalam tawa di ruang ber-AC, sembari menonton derita rakyat kecil yang mati-matian melawan maut, menyelamatkan diri dari lumpur dan banjir bandang yang menerjangnya.
Ironisnya, meski pemerintah rajin membuat regulasi lingkungan, aturan tersebut tidak berjalan efektif.
Hukum yang dibuat sering kali timpang: tegas diterapkan pada masyarakat bawah, namun lemah saat berhadapan dengan kalangan atas.
Hukum hanya menjadi pagar yang bisa menghalangi kambing, tapi tidak mampu menahan harimau oligarki yang lihai mencari celah.
Aktivis lingkungan —mulai dari Greenpeace, WALHI, hingga organisasi sosial keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU— sudah bertahun-tahun berteriak sampai serak.
Namun, teriakan (kepedulian lingkungan) itu kalah nyaring oleh suara mesin gergaji (chainsaw) dan deru alat berat.
Semua suara alam itu tenggelam oleh ambisi ekonomi jangka pendek. Tentu saja, karena alat berat tidak digerakkan oleh seruan moral ataupun ayat suci, melainkan oleh kepentingan materi.
Sebaliknya, masyarakat yang tidak mendapat keuntungan apa pun dari proyek-proyek serakah ini justru menjadi korban pertama dan paling menderita.
Rumah mereka hanyut, lahan mereka hancur, dan nyawa mereka hilang.
Sementara itu, para pelaku perusakan alam sedang santai minum kopi di rumah nyaman di kota besar, sibuk merancang proyek baru.
Saat bencana datang, kita buru-buru bertanya: “Ini cobaan atau azab?”
Padahal, jawaban yang lebih tepat mungkin: “Ini adalah tagihan dari alam, setelah kita terlalu sering mengambil tanpa pernah mengembalikan.”
Lihatlah: banjir di Sumatera, tanah longsor di Kalimantan, kebakaran hutan di mana-mana.
Semuanya memiliki pola yang sama, pola yang sering kita pura-pura tidak lihat.
Kita seolah menganggap bencana terjadi begitu saja dari langit, tanpa sebab, tanpa kaitan dengan pohon-pohon yang ditebang dan gunung-gunung yang dikeruk habis.
Padahal Al-Qur’an sudah menegur dengan halus sekaligus tegas: “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.”
Jahilnya, kebanyakan mereka membaca ayat itu sambil mengantuk, tetapi langsung terjaga ketika yang walau dengan suara lirih adalah kata “investasi.”
Sungguh, kita ini golongan yang religiusitasnya hanya hidup dalam berdoa memohon keselamatan. Tetapi kemudian kembali menutup mata ketika melihat keselamatan itu dirusak oleh tangan-tangan rakus yang kita biarkan.
Kita harus jujur: bumi ini rusak bukan karena kurangnya aturan, tetapi karena terlalu banyak manusia yang pandai mencari celah untuk melanggar aturan. Dan celah itu rata-rata terbuka karena hipnotis uang haram.
Sampai kapan kita harus mengorbankan masa depan demi keuntungan sesaat?
Sampai kapan hutan harus menjadi korban demi statistik ekonomi yang tampak manis di laporan tahunan?
Sampai kapan masyarakat kecil harus menanggung resiko dari kerusakan lingkungan yang tidak mereka perbuat?
Menjaga alam bukan sekadar kewajiban moral atau proyek aktivis. Ini adalah amanah yang berlaku selamanya.
Kita membutuhkan kerja sama: masyarakat yang peduli, pemerintah yang berani, pelaku usaha yang berhati nurani, dan hukum yang adil tanpa pandang bulu.
Sebab jika alam terus berbicara melalui bencana, jangan salahkan siapa-siapa jika di masa depan kita hanya bisa mendengar suara kehancuran.***


0 Tanggapan
Empty Comments